Kamis 03 Sep 2020 11:27 WIB

Tiga Bentuk Intoleransi Ekonomi, Budaya dan Agama

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman budaya, suku dan agama.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
TIga Bentuk Intoleransi Ekonomi, Budaya dan Agama. Foto: Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhamadiyah Abdul Muti menyampaikan orasi ilmiah saat sidang Senat terbuka Pengukuhan Guru Besar di Auditorium Harun Nasution Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Rabu (2/9). Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar sidang Senat terbuka pengukuhan Abdul Muti sebagai Guru Besar atau Profesor di Bidang Ilmu Pendidikan Agama Islam (PAI) mengangkat tema Pendidikan Agama Islam yang Pluralistis, Basisi Nilai dan Arah Pembaruan. Sidang tersebut dihadiri sejumlah tokoh yaitu mantan Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi dan mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
TIga Bentuk Intoleransi Ekonomi, Budaya dan Agama. Foto: Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhamadiyah Abdul Muti menyampaikan orasi ilmiah saat sidang Senat terbuka Pengukuhan Guru Besar di Auditorium Harun Nasution Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Rabu (2/9). Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar sidang Senat terbuka pengukuhan Abdul Muti sebagai Guru Besar atau Profesor di Bidang Ilmu Pendidikan Agama Islam (PAI) mengangkat tema Pendidikan Agama Islam yang Pluralistis, Basisi Nilai dan Arah Pembaruan. Sidang tersebut dihadiri sejumlah tokoh yaitu mantan Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi dan mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman budaya, suku dan agama. Keragaman merupakan kekayaan dan modal sosial, politik dan spiritual yang apabila dikelola dengan baik dapat menjadi kekuatan yang memajukan bangsa dan negara. Sebaliknya apabila tidak dapat dikelola dengan saksama, kemajemukan bisa menjadi sumber perpecahan dan memicu terjadinya berbagai tindak kekerasan.

 

Baca Juga

Hal tersebut disampaikan Prof Abdul Mu'ti dalam ringkasan eksekutif pidato pengukuhan guru besar Bidang Ilmu Pendidikan Agama Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Rabu (2/9). Ia mengatakan, secara umum, umat beragama di Indonesia hidup berdampingan secara damai. Umat beragama bahkan dapat saling bekerja sama dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, pendidikan, kemanusiaan, bahkan keagamaan.

Prof Mu'ti menerangkan, hidup rukun dan damai adalah budaya yang mendarah daging bangsa Indonesia. Di berbagai forum internasional, Indonesia adalah champion dalam kerukunan intern dan antar umat beragama.

"Akan tetapi, dalam satu dekade terakhir, ada gejala meningkatnya tiga bentuk intoleransi, (intoleransi) ekonomi, budaya, dan agama," kata Prof Mu'ti, dilansir dari ringkasan eksekutif pidato pengukuhan Prof Abdul Mu'ti sebagai guru besar berjudul 'Pendidikan Agama Islam Yang Pluralistis: Basis Nilai dan Arah Pembangunan.'

Ia menerangkan, Indonesia mengalami masalah kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan sosial akibat perilaku ekonomi yang eksploitatif dan kapitalis. Terdapat sekelompok kecil elite ekonomi yang menguasai sebagian besar aset ekonomi. Penguasaan akses informasi, media dan jaringan kekuasaan juga menimbulkan terjadinya intoleransi budaya di mana kelompok tertentu yang cenderung sekuler dapat mengarusutamakan paham dan nilai budaya tertentu.

Ia menjelaskan, yang mendapat sorotan tajam adalah intoleransi keagamaan. Secara umum, konflik dan kekerasan fisik antar dan intern umat relatif rendah, meskipun ada kecenderungan meningkat. Yang menunjukkan gejala peningkatan signifikan adalah kekerasan spiritual dalam bentuk ujaran kebencian, penyesatan paham keagamaan, dan penghinaan terdapat tokoh dan simbol-simbol keagamaan.

"Yang juga meningkat adalah kekerasan politik bernuansa agama, seperti kesulitan pendirian tempat ibadah, hambatan pelaksanaan ibadah, penyediaan lahan pemakaman, pembatasan perkawinan, dan lain-lain," ujarnya.

Prof Mu'ti mengatakan, kekerasan keagamaan adalah fenomena global. Akar masalahnya sangat kompleks mulai dari masalah identitas, kesejahteraan, politik, dan teologi. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia.

Ia menambahkan, yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah adanya beberapa temuan penelitian bahwa intoleransi keagamaan di Indonesia sebagian disebabkan oleh faktor pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Islam (PAI). Penelitian PPIM (2018) menunjukkan muatan kurikulum PAI, paham Islamisme guru, materi keagamaan di internet, dan kinerja pemerintah berkontribusi terhadap sikap dan perilaku intoleran di kalangan murid.

Ia mengatakan, tulisan berjudul 'Pendidikan Agama Islam Yang Pluralistis: Basis Nilai dan Arah Pembangunan' menawarkan model PAI yang pluralistis. Selanjutnya disebut PAI pluralistis sebagai sebuah pembaruan sistem PAI yang diharapkan dapat membentuk murid yang berjiwa pluralis. Yakni memahami ajaran dan nilai-nilai agama secara mendalam, taat beribadah, berakhlak mulia, dan bersikap toleran, serta menghormati, menerima, mengakomodasi, dan bekerja sama dengan pemeluk agama dan keyakinan yang berbeda.

"Murid yang berjiwa pluralis diharapkan dapat menjadi aktor dan pelopor dalam membangun kehidupan masyarakat yang rukun dan damai di tengah pluralitas budaya, suku, dan agama berdasarkan atas nilai-nilai pluralitas dalam agama Islam," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement