Rabu 02 Sep 2020 12:14 WIB

Independensi Ekonomi adalah Pilar Peradaban Modern Islam

Pilar peradaban modern Islam adalah independensi ekonomi.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Muhammad Hafil
Independensi Ekonomi adalah Pilar Peradaban Modern Islam. Foto: Ustadz Imam Shamsi Ali memberikan paparannya saat kunjungan di Kantor Republika, Jalan Warung Buncit, Jakarta, Jumat (23/3).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Independensi Ekonomi adalah Pilar Peradaban Modern Islam. Foto: Ustadz Imam Shamsi Ali memberikan paparannya saat kunjungan di Kantor Republika, Jalan Warung Buncit, Jakarta, Jumat (23/3).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Imam besar Masjid New York Shamsi Ali mengatakan independensi ekonomi adalah saah satu pilar peradaban modern Islam.

"Peradaban yang memberikan kemakmuran ('imaarah) kepada seluruh masyarakatnya. Bukan peradaban yang selalu bergantung kepada belas kasih orang lain,"ujar dia dalam rilis yang diterima Republika, Rabu (2/9).

Baca Juga

Umat ini, menurut dia, sesungguhnya berada pada posisi untuk tidak bergantung secara ekonomi. Kita dapat menengok dunia Islam dari barat hingga timur. Semua berada pada posisi strategis secara ekonomi. Dari pertambangan, pertanian dan kelautan ada pada negara-negara mayoritas muslim.

"Sayangnya, najis-najis kehidupanlah yang menjadikan potensi itu tidak teroptimalkan, bahkan tersia-siakan. Najis-najis inilah yang perlu di "zakatkan" atau disucikan (tazkiyah). Sebab najis-najis inilah yang menjadikan semua itu kotor. Kotor pemikiran dan prilaku sehingga potensi perekonomian itu menjadi bencana bagi umat,"ujar dia.

Dia mekakai kata “najis” yang merusak potensi ekonomi itu karena sejatinya najis itulah yang menumbuhkan prilaku korup dalam pengelolaan potensi ekonomi itu. Najis itu adalah ketamakan, kerakusan, dan cinta dunia berlebihan yang mengantar kepada prilaku kapitalis. Di sinilah zakat memiliki makna moral untuk memerangi keserajahan itu.

Sementara bencana yang dimaksud adalah bahwa karena potensi kekayaan (ekonomi) itulah yang kemudian menjadikan negara-negara Islam diperebutkan bagaikan "sepotong daging" oleh anjing-anjing yang lapar lagi rakus.

Keamanan dalam negeri

Islam mengenal dalam sejarah bahwa sebelum kedatangan Rasulullah SAW di

madinah, perang saudara bukan sesuatu yang baru. Dua suku besar masyarakat Arab, sejak beratus tahun tidak pernah akur. Ditambah lagi adanya adu domba dari masyarakat lain yang punya kepentingan, khususnya Yahudi.

Masyarakat Yahudi sendiri secara tidak resmi menjadi penasehat-penasehat (mustasyaar) bagi masyarakat yang saling berkonflik. Dan terkadang untuk kepentingan politik maupun ekonomi mereka, qabilah-qabilah Arab itu oleh masing-masing suku yahudi diadu domba.

Kedatangan Rasulullah SAW di Madinah ternyata membawa perdamaian kepada pihak-pihak yang kerap berperang itu. Bahkan tidak ada catatan resmi dalam sejarah yang mengatakan bahwa beliau melakukan pendekatan secara formal untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai itu.

Tapi kharisma sosok Kepribadian Rasulullah yang damai itulah dengan sendirinya menjadikan inspirasi bagi semua pihak untuk berdamai.

Oleh karenanya, suku-suku yang selama ini, khususnya dua suku besar Arab, Aus dan Khazraj, menghentikan permusuhan dan peperangan. Bahkan keduanya menjadi dua kelompok masyarakat yang tidak saja menjaga perdamian tapi juga membangun ukhuwah yang solid.

Ini pulalah salah satu peristiwa yang digambarkan dalam Al-Quran, "Dan kamu pernah berada di tepian lobang (kehancuran karena peperangan) lalu Allah menyatukan hati-hati kamu" (Ali Imran).

Luar biasanya adalah bahwa proses ta'liful quluub itu dilakukan dengan cara-cara samawi tanpa kelicikan diplomasi, apalagi pemaksaan dan kekerasan. Pendekatan yang bersifat sangat manusiawi bahkan bersifat alami.

Sehingga semua merasa bersaudara, bahkan terjadi itsaar (memberikan perhatian lebih) kepada saudara-saudara mereka di atas kepentingan diri mereka sendiri.

Lingkungan atau suasana persaudaraan seperti ini dengan sendirinya menciptakan keamanan dan stabilitas yang solid dalam negeri. Stabilitas dan keamanan yang tidak dipaksakan dengan pendekatan keamanan. Tapi sekali lagi dengan pendekatan langit dan hati dengan metode kasih sayang Rasulullah SAW.

Ketika keamanan dan stabilitas itu terjadi maka dengan sendirinya kehidupan menjadi nyaman dan maju. Orang-orang Arab yang tadinya suka permusuhan dan peperangan kini berbalik menyenangi persaudaraan dan kerjasama. Maka terbangunlah at-ta'awun alal birri wattaqwa (kerjasama dalam kebaikan dan ketakwaan). Dengan ini pula Madinah semakin berkemajuan, di atas kasih sayang, keadilan dan kemakmuran.

Presiden Nusantara Foundation ini juga mengatakan tanpa keamanan dan stabilitas dalam negeri tidaklah mungkin akan terbangun peradaban modern (islami) manusia. Karena pembangunnan (development) memang terkait erat dengan keamanan dan stabilitas.

Mungkin ayat Al-qur'an yang paling relevan dengan kesimpulan ini adalah, "Dialah Allah yang memberi makan mereka dari kelaparan. Dan Dialah Allah yang memberikan mereka keamanan dari ketakutan" (Al-Quraish).

"Jika hal ini kita tarik kepada realita kehidupan masa kini kita maka akan tersimpulkan bahwa pembangunan dan kemakmuran (tho’aam) adalah cara terefektif dalam mewujudkan  keamanan (al-amnu). Sebaliknya keamanan dan stabilitasi menjadi pilar bagi pembangunan dan kemakmuran,"jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement