Selasa 01 Sep 2020 19:55 WIB

Cara Kolonial Meredam Ketakutan Terhadap Orang Pulang Haji

Pemerintah kolonial menciptakan sebuah kesadaran palsu.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Fakhruddin
Cara Kolonial Meredam Ketakutan Terhadap Orang Pulang Haji. Foto: Kapal yang membawa jamaah haji berangkat ke Makkah pada tempo dulu.
Foto: wikipedia
Cara Kolonial Meredam Ketakutan Terhadap Orang Pulang Haji. Foto: Kapal yang membawa jamaah haji berangkat ke Makkah pada tempo dulu.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Semangat juang dari masyarakat Indonesia pascapulang haji menimbulkan keresahan dari warga kolonial bahwa mereka yang baru pulang dari Tanah Suci akan melawan atas keterjajahan. Keresahan atas hal ini membuat kolonial harus mengeluarkan akal agar dapat mengatur semua urusan ibadah haji warga jajahannya.

Campur tangan pihak kolonial dalam hal urusan ibadah haji bermula dengan alasan ketakutan dan kecurigaan terhadap alumni haji yang baru pulang dari tanah suci. Terdapat kecurigaan bahwa masyarakat nusantara yang menunaikan ibadah haji di Makkah akan membawa pemikiran baru dalam pergerakan Islam untuk menentang kolonialisme.

Asyhadi Mufsi Sadzali dalam jurnalnya "Kelas Haji Kelas Sosial" berpendapat kecurigaan ini kemudian dijadikan sebagai alat untuk merumah kacakan prosesi ibadah Haji untuk memudahkan dalam mengontrol pergerakannya. Namun meski merasa terancam pihak kolonial juga melihat adanya keuntungan ekonomi yang sangat besar apabila melakukan monopoli butuh terhadap prosesi ibadah haji. "Ibarat kata pepatah, sekali dayung dua pulau terlampaui titik dengan politik yang sama kamu dua keuntungan dapat diperoleh," katanya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa prosesi ibadah haji merupakan ritual tahunan dengan kapasitas jamaah yang pernah di luar biasa. Tapi untuk menutupi modus kapitalis dan juga upaya penanggulangan politik tersebut, maka pemerintah kolonial menciptakan sebuah kesadaran palsu yakni dengan menciptakan kecurigaan bahwa islam itu berbahaya. 

Untuk melancarkan tujuannya, kolonial memanfaatkan isu internasional pada masa itu tentang gerakan Pan Islamisme atau (solidaritas umat Islam). Pan Islamisme ini dikumandangkan kerajaan Turki Usmani pada perang dunia ke II  tahun 1936. 

Menurut Asyhadi jika dicermati hal tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada saat ini, di mana Islam dicap sebagai teroris, radikal dan kemudian memanfaatkan isu demokrasi dan antipemimpin diktator di negara-negara Timur tengah. "Tentu hal ini patut kita curigai dan mempertanyakan kenapa dan ada apa?" katanya.

Untuk mengawali usaha monopoli ibadah haji itu, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah putusan terkait prosesi ibadah haji yang untuk pertama kalinya pihak kolonial menekan jemaah haji dengan mengeluarkan resolusi (putusan) 1825. Peraturan ini diharapkan tidak hanya memberatkan jamaah dalam hal biaya, tetapi sekaligus dapat memonitor aktifitas mereka dalam melaksanakan ritual ibadah haji dan kegiatan lainnya selama bermukim di tanah suci. 

Resolusi 1825 berkenaan dengan ongkos naik haji (ONH) sekarang bisa disebut dengan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) yang ditentukan oleh pihak kolonial sebanyak f.110. Jumlah itu tidak termasuk uang pembuatan paspor (surat jalan dari penguasa setempat) biaya hidup, ongkos pulang dan dikenakan wajib lapor kepada pemerintah setempat sepulangnya ke tanah air.

Pemerintah kolonial faham betul dengan kekuatan doktrin agama dan juga fanatisme umat Islam di Nusantara, sehingga mereka sangat yakin walaupun telah dikeluarkan resolusi 1825 intensitas dan jumlah jamaah ditetapkan melimpah dan terus bertambah. Dan ini terbukti sampai sekarang antrian jamaah haji Indonesia sangat panjang.

Di balik itu para agen agen kapitalis memainkan peranannya di lapangan dengan menciptakan kesadaran palsu dalam pola pikir masyarakat Islam, bahwa haji adalah gelar suci yang terhormat yang harus disanjung dan ditempatkan dalam tatanan sosial masyarakat Islam. Antara kapitalisme dan penciptaan kesadaran palsu yang dimainkan kepala kapitalis serta agen-agennya secara bersamaan dalam satu meja judi ternyata menghasilkan keuntungan yang sangat luar biasa. 

"Biaya yang diperlukan untuk melunakkan ibadah haji sekali jalan bervariatif, namun secara umum diketahui bahwa harga tiket standar f.110 ditambah dengan jasa perusahaan dan syekh f.17,5, maka jumlah ongkos transportasi yang dikeluarkan sebesar f. 127,5 (ongkos pergi). Namun secara keseluruhan pemerintah belanda meminta setiap calon jamaah haji senjata f. 500," katanya.

Jadi, jika melihat postur BPIH zaman dulu itu dapat dibayangkan berapa keuntungan yang diperoleh pemerintah kolonial di musim haji bila total penumpang dari delapan pelabuhan dalam satu keberangkatan mencapai ribuan orang. Pada waktu musim Haji 1927-1928 jamaah yang berangkat menunaikan ibadah haji ke Makah berjumlah 33.965 orang yang terdiri atas 10,970 orang berangkat dengan perusahaan Rotterdamsche LIoyd, menggunakan perusahaan Nederlandsch Llyod 9.467 orang, dan perusahaan Ocean 10.634 orang.

Selama musim haji itu, tiap perusahaan mengoperasikan kapalnya antara tujuh sampai sembilan kali. Walaupun dengan biaya yang begitu mahal, jamaah haji tidak mendapatkan fasilitas yang memadai dalam prosesi ibadah haji.

Persaingan maskapai kapal Belanda (KPM) yang disebut dengan istilah kongsi tiga dengan maskapai kapal Inggris, Arab dan Singapura. Namun pada umumnya tidak ada yang mengutamakan kesehatan dan kesejahteraan penumpang atau jamaah haji, padahal mereka berada di kapal sampai 6 bulan untuk sampai ke Makkah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement