Selasa 01 Sep 2020 10:41 WIB

Survei: Praktik Politik Uang di Jatim Saat Pilkada Tinggi

Pandemi Covid-19 yang menimbulkan kesulitan ekonomi masyarakat Jatim.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Andri Saubani
Petugas membongkar muatan truk berisi logistik Pilkada Jatim 2018 untuk dimuat ke kapal KM Sabuk Nusantara 56 di Dermaga Jamrud Utara, Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (21/6).
Foto: Antara/Didik Suhartono
Petugas membongkar muatan truk berisi logistik Pilkada Jatim 2018 untuk dimuat ke kapal KM Sabuk Nusantara 56 di Dermaga Jamrud Utara, Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (21/6).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Direktur Eksekutif Indopol Survey, Ratno Sulistiyanto mengungkapkan, berdasarkan survei yang dilakukannya, mayoritas masyarakat Jawa Timur (Jatim) mengaku bakal menerima pemberian uang dari pasangan calon yang berkontestasi di Pilkada serentak 2020. Persentasenya mencapai 53,8 persen.

Meskipun, sebagian besar dari mereka menyatakan, penerimaan uang tersebut tidak akan memengaruhi pilihan calon yang telah ditentukannya.

Baca Juga

"Politik uang masih tinggi apalagi dengan kondisi Covid-19 seperti ini. Pandemi Covid-19 yang menimbulkan kesulitan ekonomi," ujar Ratno di Surabaya, Selasa (1/9).

Ratno melanjutkan, meski sebagian besar masyarakat menyatakan pemberian politik uang tersebut tidak memengaruhi pilihannya, jelas membuat kontestasi politik tidak sehat. Karena, kata dia, masih tingginya masyarakat yang setuju dengan politik uang, membuat iklim demokrasi tidak sehat.

Politik uang akan membuat biaya proses demokrasi menjadi mahal. Sehingga akan menjegal kandidat-kandidat yang memiliki potensi, tetapi minim modal.

"Tapi pada intinya dia menerima (politik uang). Ini poin pentingnya di situ. Politik uang yang jelas menjadi biang keladi proses demokrasi itu menjadi mahal. Politik uang ini akan berdampak pada kualitas demokrasi," ujarnya.

Ratno melanjutkan, salah satu dampak tidak terhindarkan dari wabah Covid-19 adalah dampak di bidang ekonomi. Di mana masyarakat di Jatim merasakan langsung menurunnya aktivitas ekonomi akibat wabah tersebut.

Ratno mengungkapkan, sebanyak 57,1 persen masyarakat menganggap kondisi ekonomi keluarganya lebih buruk dibandingkan tahun lalu. Bahkan 10,8 persen menyatakan jauh lebih buruk setelah adanya wabah.

"Mayoritas  masyarakat atau sekitar 65,9 persen menyalahkan Covid-19 sebagai penyebabnya. Mereka yang berpendapatan di bawah Rp 2 juta per bulan paling merasakan penurunan ekonomi keluarga. Kondisi terburuk dialami di Probolinggo, Kota Mojokerto, Banyuwangi, Blitar, dan Kota Surabaya," ujarnya.

Meski demikian, kata Ratno, hanya 24,4 persen masyarakat yang menyatakan pendapatannya turun setelah adanya wabah Covid-19. Sedangkan 69,8 persen menyatakan pendapatannya tetap. Hal ini, kata dia, menujukkan bahwa Covid-19 sesungguhnya bukanlah satu-satunya penyebab turunnya ekonomi keluarga.

Ratno juga mengungkapkan adanya sebanyak 10,40 persen masyarakat yang mengaku kehilangan pekerjaan selama wabah Covid-19. Kemudian ada 7,2 persen mengaku dirumahkan, dan 37,3 persen mengaku pekerjaannya berkurang selama wabah.

"PHK, dirumahkan, dan berkurangnya pekerjaan paling parah dialami mereka yang berpendapatan kurang dari Rp 3 juta per bulan. Kondisi PHK terburuk dialami di Kabupaten Malang, Sampang, Kota Malang, Kota Madiun, dan Sumenep. Kondisi pekerja dirumahkan terburuk dialami di Situbondo, Pacitan, Kota Kediri, Kota Pasuruan, Gresik, Lamongan, dan Tuban," kata dia.

Ratno menjelaskan, metode pengambilan sampel dalam survei ini dilakukan dengan cara stratified random sampling. Di mana jumlah responden tiap kabupaten/ kota di Jawa Timur diambil secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk BPS Jatim pada 2020.

Penentuan responden dilakukan secara random sistematis. Kriteria responden adalah mereka yang berumur 17 tahun lebih, atau sudah menikah. Responden berjumlah 1.000 orang dengan margin error sekitar 3.2 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen (slovin). Wawancara dalam survei ini dilakukan secara tatap muka, sementara data diolah dengan program SPSS atau Field Survey.

Sebelumnya, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Timur, Moh. Amin, menyebut ada sejumlah kerawanan pada Pilkada Serentak di tengah pandemi Covid-19. Potensi kerawanan yang dimaksud di antaranya adalah penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) yang digunakan untuk dana kampanye atau politik uang. Utamanya bagi calon petahana.

"Kondisi ekonomi yang sulit memiliki potensi maraknya politik uang, termasuk mengawasi dugaan Bansos digunakan untuk kepentingan Pilkada," kata Amin.

Amin mengatakan, ada 19 daerah di Jatim akan menggelar Pilkada Serentak pada 9 Desember 2020. Yaitu Kabupaten Pacitan, Ponorogo, Ngawi, Trenggalek, Kediri, Lamongan, Tuban, Gresik, Mojokerto, Malang, Blitar, Sidoarjo, Sumenep, Jember, Situbondo, Banyuwangi, kemudian Kota Blitar, Kota Pasuruan, dan Kota Surabaya.

Dari 19 daerah tersebut, ada sembilan yang bupati, wali kota atau wakilnya berpotensi maju kembali, karena belum menjabat dua periode. Yaitu Kabupaten Sidoarjo, Mojokerto, Trenggalek, Malang, Ponorogo, Blitar, Kota Blitar, Kota Pasuruan, dan Kabupaten Jember.

"Oleh karena itu, kami harus mengantisipasi politisasi Bansos, dan penggunaan fasilitas pemerintah oleh para petahana," ujar Amin.

Amin berjanji akan mengawasi dengan mendahulukan pencegahan. Amin juga mengaku terus berupaya meningkatkan pengawasan partisipatif, pengembangan teknologi, dan penindakan pelanggaran. "Kami akan terus mengawasi jalannya Pilkada sesuai dengan peraturan yang ada, dengan metode mencegah, mengawasi, dan menindak," kata Amin.

photo
Kontroversi Pilkada di tengah pandemi Covid-19. - (Berbagai sumber/Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement