Senin 31 Aug 2020 19:56 WIB

Israel Kecam Kekejaman Nazi, Tapi Berbuat Sama di Gaza?  

Kekejaman Israel di Gaza disebut sama dengan perlakuan Nazi di Eropa Timur.

Rep: Harun Husein/ Red: Nashih Nashrullah
Asap mengepul di kejauhan setelah pesawat IDF melakukan serangan udara terhadap sasaran Hamas di dekat Kota Gaza pada 28 Agustus 2020. (MAHMUD HAMS / AFP)
Foto: timesofisrael.com.
Asap mengepul di kejauhan setelah pesawat IDF melakukan serangan udara terhadap sasaran Hamas di dekat Kota Gaza pada 28 Agustus 2020. (MAHMUD HAMS / AFP)

REPUBLIKA.CO.ID, Sudah banyak menilai banyak kemiripan penderitaan rakyat Gaza itu dengan kekejaman serupa yang pernah dialami orang-orang Yahudi di Eropa Timur, terutama di Ghetto Warsawa, Polandia, yang saat itu dicaplok Nazi. 

Analogi itu, mencuat pada 2008-2009 silam, ketika Israel —lewat Operasi Cast Lead— membombardir Gaza dan membunuh 1.440 warganya. Saat itu, Kementerian Kesehatan Gaza mencatat di antara yang terbunuh adalah 431 anak-anak dan 114 perempuan.

Baca Juga

Adanya kemiripan itu, antara lain disampaikan Profesor William Robinson, sosiolog Universitas California. “Gaza adalah Warsawanya Israel, sebuah kamp konsentrasi yang luas, yang memenjarakan dan mem blokade orang Palestina, membunuh mereka perlahanlahan dengan kekurangan pangan, penyakit, dan keputusasaan, sebelum kemu dian dibunuh dengan cepat oleh bom-bom Israel. Kita semua menjadi saksi dari sebuah genosida yang berlangsung perlahan-lahan,” katanya dalam email yang dikirimkan kepada para mahasiswanya.

Surat elektronik yang semula dimaksudkan untuk memancing diskusi dengan para mahasiswanya, itu, kemudian menyebar, dan membikin gerah Zionis-Israel dan para pendukungnya. Sebuah organisasi lobi pro-Israel, Liga Anti-Fitnah (Anti-Defa mation League), mempersoalkan isi email itu dan menuntut Universitas California, Santa Barbara, tempat William mengajar, melakukan investigasi dan memecatnya. Cukup lama soal ini diproses, dan memancing kontroversi, sampai akhirnya pihak universitas menyatakan itu merupakan bagian dari kebebasan akademik, sehingga tak bisa dituntut.

Gara-gara emailnya yang bikin heboh itu, Prof William akhirnya dicap antisemit, meski dia sendiri seorang Yahudi. Cap antisemit, merupakan cap yang bisa merepotkan di Barat sana. William sendiri mengaku bingung, sebab kritiknya terhadap kebijakan Israel telah dicampuradukkan dengan tuduhan antisemit. “Itu seperti mengatakan saya adalah anti-Amerika, karena saya mengecam pemerintah AS atas invasinya di Irak. Itu absurd, dan tidak punya basis argumen… saya sendiri adalah Yahudi,” katanya.

Selain disampaikan Prof William, Aljazeera mencatat analogi Gaza dengan Ghetto Warsawa itu mula-mula dimunculkan kalangan blogger, dansejumlah media utama. Gambaran lain yang juga sama buruknya, yaitu membandingkan okupasi Israel dengan apartheid di Afrika Selatan, telah kian banyak diterima masyarakat dunia, ter masuk di Israel sendiri. 

Namun, perbandingan itu terlalu lemah untuk memunculkan gambaran penderitaan rakyat Gaza sesung guhnya. Sehingga, Gaza kemudian disandingkan dengan Ghetto Warsawa, terutama untuk menarik perhatian media Barat. “Itu gambaran yang tak terhindarkan, terutama setelah perang 2008 dimulai,” tulis Aljazeera.

Tapi, bukan berarti analogi tersebut hanya menjadi propaganda yang dipaksakan. Nyatanya, memang banyak kemiripan Gaza dengan Ghetto Warsawa. Ghetto, adalah bagian dari sebuah kota di mana kalangan minoritas ditempatkan, khususnya untuk melakukan tekanan sosial, hukum, dan ekonomi. Ghetto Warsawa, adalah ghetto terbesar di Polandia, yang pada Perang Dunia II menjadi wilayah caplokan Nazi. 

Di sana, 400 ribu orang Yahudi mendiami kawasan 3,4 kilometer persegi. Ghetto itu dikelilingi tembok setinggi tiga meter, yang di atasnya dipasangi kawat berduri, dan sekelilingnya dijaga pasukan yang siap mengokang senjata. 

Gambaran seperti itu, kini terlihat di Gaza. Tembok yang dibangun Israel untuk memblokade Gaza, bahkan lebih tinggi, yaitu delapan meter, dengan panjang 60 kilometer. 

photo
Balon yang membawa alat pembakar yang diluncurkan dari Jalur Gaza melayang ke sisi Israel di perbatasan antara Gaza dan Israel, Senin, 24 Agustus 2020. Militan yang berafiliasi dengan Hamas telah meluncurkan sejumlah balon pembakar ke Israel selatan dalam beberapa pekan terakhir dalam sebuah tawaran. untuk menekan Israel untuk meredakan blokade yang diberlakukan sejak Hamas menguasai wilayah itu pada tahun 2007. Militer Israel mengatakan pihaknya menyerang sasaran militan di Jalur Gaza pada Senin pagi, sebagai tanggapan atas balon tersebut. - (AP/Ariel Schalit)

Ditambah 10 kilometer tembok yang di bangun Mesir atas bantuan AS, total tembok yang mengelilingi Gaza sekitar 70 kilometer, atau separuh panjang Tembok Berlin. Semen tara, bagian Gaza yang berhadapan dengan Laut Mediterania, juga diblokade, dan terus ditongkrongi kapal-kapal perang Israel, menjadikan kawasan laut ini pun bak tem bok tak kasat mata.

Noam Chomsky, pakar politik dan linguistik Amerika, menyebut Gaza —yang luasnya 360 ki lometer persegi, dengan penduduk sekitar 1,5 juta orang— penjara terbuka terbesar di dunia. Dan, sekali perang pecah di kawasan padat penduduk itu, warga sipil pun langsung terjebak di zona perang, dan mereka tidak bisa lari ke manapun. Pengepungan Israel atas Gaza —yang dibantu Mesir, dengan 10 kilometer temboknya di perbatasan Rafah— telah membangkitkan memori banyak orang tentang kontrol mutlak Nazi atas Ghetto Warsawa. Dan, bila warga Ghetto Warsawa dikirim ke kamp konsentrasi untuk dibunuh di kamar gas, di Gaza warganya dibunuhi dengan ribuan ton bom

Selain pembangunan tembok di sekeliling nya, dan tembak mati bagi yang berani melintasinya, masih banyak persamaan Gaza dengan Ghetto Warsawa. Ghetto Warsawa, juga ghetto-ghetto lainnya, dihuni orang-orang Yahudi yang dipaksa keluar dari rumahnya, kemudian digiring menuju salah satu sudut kota. Sementara, kebanyakan warga Gaza, adalah pengungsi dan keturunan nya, yang terusir dari rumah-rumah mereka pada Perang 1948.

Restriksi bagi warga Gaza dalam mendapatkan makanan, air, dan keperluan medis, dan peningkatan kasus kurang gizi dan pengangguran, juga membangkitkan memori pada Nazi, yang mencekik ghetto secara perlahan, seperti yang digambarkan Richard Falk, mantan pelapor khusus PBB tentang hak-hak asasi bangsa Palestina.

Terowongan-terowongan yang dibangun di Gaza, juga sama seperti di Ghetto War sawa. Ketika orang-orang Yahudi menggu nakan terowongan untuk menyelundupkan makanan dan barang-barang penting lainnya ke dalam ghetto.

Pada 29 Februari 2008 lalu, Wakil Menteri Pertahanan Israel, Matan Vilnai, juga menggunakan istilah yang berbau holocaust untuk Gaza. Dia mengatakan bangsa Pales tina akan membawa Shoah yang bahkan lebih besar kepada diri mereka sendiri, jika mereka tidak berhenti menembakkan roket al-Qassam ke Israel. Shoah adalah perkataan Ibrani untuk holocaust.

Bahkan, satu lagi gambaran yang meng hubungkan Gaza dengan Ghetto Warsawa, adalah apa yang digambarkan oleh petinggi Hamas, Mahmoud al-Zahar. Dia kerap menggambarkan serangan Israel ke Gaza sebagai sebuah perang total. Bahasa ini, tulis Aljazeera, jelas dimaksudkan untuk menghubungkan aksi Israel di Gaza sebagai sebuah genosida, seperti yang dilakukan Jerman selama Perang Dunia II.

“Jika semua perbandingan ini telah terjadi, maka perbandingan Gaza-Ghetto Warsawa akan benar-benar nyata, menjadi sebuah holocaust untuk bangsa Palestina.” Apa yang dilakukan Israel terhadap Muslim-Palestina ini, sangat jauh berbeda dengan yang pernah dilakukan Muslim kepada Yahudi di masa silam. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement