Sabtu 29 Aug 2020 19:27 WIB

Penanganan Karhutla Saat Ini Lebih Baik Dibandingkan Orba

Sarwono kemudian menyinggung soal pesawat yang jatuh karena asap karhutla.

Lahan gambut terbakar di Kelurahan Tinengi, Kecamatan Tinondo, Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, baru-baru ini.
Foto: ANTARA/ManggalaAqni
Lahan gambut terbakar di Kelurahan Tinengi, Kecamatan Tinondo, Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, baru-baru ini.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Sarwono Kusumaatmaja mengatakan penanganan kebakaran hutan dan lahan (Karhutlah) saat ini sudah lebih baik dibandingkan pada 1997. Pada masa Orde baru, kata dia, penanganan karhutla memprihatinkan hingga sebuah pesawat pun jatuh di tengah kabut asap karhutla.

"Sekarang penanganannya sudah jauh lebih baik dibandingkan tahun saya dulu, dalam rangka pandemi ini program pemadaman karhutla sudah diintegrasikan juga dengan protokol kesehatan. Di zaman saya sama sekali beda," ungkap Sarwono dalam Webinar yang diadakan oleh Editor Meeting The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) pada Sabtu (29/8).

Sejarah Karhutlah mencatat, terjadi kebakaran hutan di Riau dan Sumatera pada 1997. Dampak Karhutlah tersebut telah membuat sebaran asap pekat hingga menyeberang ke negeri jiran Malaysia dan Singapura. Kedua negara itu geram dan mengajukan protes hingga menggelar pertemuan di Kuching Malaysia.

"Hingga kemudian pada September-Oktober kebakaran memuncak. Ada yang aneh, ada menteri yang tidak bisa saya sebutkan, dia baru tahu ada kebakaran dari CNN," ujar Sarwono.

Sarwono mengaku tidak tahu awal mula terjadinya kebakaran hutan tersebut. Ia baru tahu belakangan, bahwa ternyata pembakaran hutan dianjurkan oleh Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian. "Argumennya adalah mumpung kering bakar saja supaya ongkos penyiapan lahannya turun. Begitu. Dan kemudian karena musimnya seperti itu (kemarau), itu jadi kemana-mana (apinya)," kata Sarwono.

Setelah persoalan Karhutla telah menjadi perhatian, ramai-ramai elite politik di daerah maupun di Jakarta sibuk menyalahkan peladang berpindah. Padahal sambung Sarwono, sebagian besar yang melakukan pembakaran itu adalah korporat.

"Dan akhirnya saya lapor Pak Harto (Presiden Soeharto), Pak Harto bilang atasi saja seadanya. Waduh, saya bilang, dan rekan-rekan di LH (Kementerian Lingkungan Hidup) juga tidak ngerti harus bagaimana," cerita Sarwono.

Akhirnya ia menghubungi LAPAN dan BMG (sekarang BMKG) yang saat itu masih dibawah Kementerian Perhubungan. Lucunya, Menteri Perhubungan pun tidak tahu BMG berada di bawah badannya.

"Saya minta bantuan relawan juga untuk bantu mengatasi kahutla, yang respon cuma tiga, Telapak, Gerakan pemuda ansor, dan Wanadri. Walhi saat itu sedang sibuk dengan kampanye anti tambang di Sulawesi utara. Mereka join belakangan," ucapnya.

Mereka harus membuat dan menyusun laporan cepat kepada Presiden, sayangnya orang-orang birokrasi saat itu belum terbiasa bekerja cepat sehingga untuk mempercepat laporan ia meminta bantuan Inget Sembiring supaya mengirimkan peralatan kantor dan stafnya sekaligus untuk bekerja dari rumahnya. Tapi sepertinya, Sarwono menduga bahwa laporanya tidak ada yang menggubris.

Selanjutnya, saat Sarwono melakukan kunjungan ke Singapura ia mengetahui Singapura menggunakan penginderaan jarak jauh untuk memantau hotspot. Tentunya kata dia, Indonesia harus bisa melakukan cara yang sama.

"Lantas kita bikin sendiri dengan bantuan BPPT LAPAN bikin pemetaan hospot dengan susah payah dan berhasil, kita bisa memantaunya. Saya lantas minta anggaran tambahan pada Kementerian keuangan ditolak, dari mana duitnya, akhirnya dari kantong sendiri dan sumbangan," kata dia.

Saat kepulan asap tebal menyentuh langit Singapura dan Malaysia dan membuat mereka marah, Mensesneg Moerdiono menyatakan negara dalam keadaan darurat kebakaran hutan. Sayangnya, meskipun sudah diumumkan para pejabat pemerintah seolah masih menutup mata dengan mengatakan bahwa tidak ada definisi dalam UU kebencanaan sehingga Karhutla tidak bisa ditangani.

"Akhirnya pak Mahatir kirim satu regu pemadam kebakaran dari Malaysia ke Indonesia tanpa izin kita. Tiba-tiba ada di pulau rumpat untuk membantu Indonesia," ungkapnya.

Saat itu masih menurut Suwarno, ia bersama relawan membutuhkan peta sayangnya oleh pemerintah tidak diberikan, dengan alasan rahasia negara. Peta disimpan di Badan survei dan pemetaan nasional.

"Saya jengkel, peta-peta yang saya perlukan saya ambil paksa jam tiga pagi, supaya regu-regu pemantau bisa segera berangkat, setelah itu mereka baru mengaku salah," ungkapnya.

Sarwono kemudian menyinggung soal pesawat yang jatuh karena asap karhutla. Menurutnya, saat itu ia bersama tim dan para relawan sudah memberikan semua laporan secepat mungkin kepada Meneri Perhubungan, mengenai transportasi udara dan darat saat karhutla.

Sarwono menduga laporan tersebut tidak dibaca oleh menteri sehingga terjadi peristiwa na'as pesawat Garuda jatuh di Sibolangit, Sumatera Utara.

"Semua laporan-laporan kami yang cepat kami sampaikan kepada Menhub untuk menyelamatkan penerbangan transportasi laut, darat, karena ada kebakaran hutan, itu disampaikan langsung ke Menterinya, dia engga baca, sehingga terjadi ada pesawat jatuh di Sibolangit. Itu tahun 1997, ada pelajaran dari krisis manajemen ini," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement