Senin 31 Aug 2020 00:03 WIB

Anak-Anak di Jabung Bayar Sampah untuk Tetap Bisa Belajar 

Selain menjadi bahan kerajinan tangan, metode pembayaran ini dapat mengurangi sampah

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto
Anak-anak di Gubuk Baca Lereng Busu membayar dengan sampah untuk bisa belajar dan berkreasi, Jabung, Kabupaten Malang, Ahad (30/8).
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Anak-anak di Gubuk Baca Lereng Busu membayar dengan sampah untuk bisa belajar dan berkreasi, Jabung, Kabupaten Malang, Ahad (30/8).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Hari masih begitu pagi, tapi anak-anak di Gubuk Lereng Busu, Slamparejo, Jabung, Kabupaten Malang telah memulai aktivitas belajarnya. Puluhan anak-anak berusia SD terlihat semangat memulai harinya dengan melakukan senam, menari tarian tradisional, dan menciptakan kerajinan tangan.

Gubuk Baca Lereng Busu mempunyai berbagai program setiap harinya untuk 120 siswa. Setiap Senin sampai Jumat, puluhan pendamping akan mengajarkan beberapa pelajaran sekolah dari pukul 18.00 sampai 20.30 WIB. Aktivitas ini tersebar di tiga gubuk dengan batasan peserta didik sesuai minat dan bakat masing-masing.

Setiap Sabtu, gubuk yang berada di perbatasan Kabupaten Pasuruan ini, meliburkan aktivitasnya. Namun di hari berikutnya, gubuk mengadakan program senam, menari tarian Bapang, dan menciptakan kerajinan tangan. Hasil kerajinan tangannya bermacam-macam seperti sulaman kain, ecobrick, tempat pensil dari sampah, dan sebagainya.

photo
Anak-anak di Gubuk Baca Lereng Busu melakukan berbagai aktivitas dari belajar mata pelajaran sekolah, tari tradisional, senam sampai menciptakan prakarya, Jabung, Kabupaten Malang, Ahad (30/8). - (Republika/Wilda Fizriyani)

Uniknya, Gubuk Baca Lereng Busu tidak mengenakan biaya apapun dalam proses pembelajarannya. Anak-anak hanya perlu memberikan sampah setiap satu pekan di kediaman pengelola gubuk. Sampah-sampah tersebut nantinya akan diolah menjadi karya kerajinan tangan lalu dijual di pameran.

"Hasilnya (hasil penjualan) nantinya buat ke gubuk lagi, (untuk) biaya operasional," kata Pendamping Gubuk Baca Lereng Busu, Suhasti Nabila (22 tahun) saat ditemui Republika, Jabung, Kabupaten Malang, Ahad (30/8).

Perempuan yang disapa Nabila ini menyatakan, kerajinan tangan dari sampah mempunyai nilai keunikan tersendiri bagi masyarakat. Sebab, jarang masyarakat Jabung yang menjual kerajinan tangan dengan bahan tersebut. Sejauh ini, karya-karya tersebut mendapatkan respons cukup baik dari para pembeli.

Nabila dan para pendamping tidak mengikuti kelas keterampilan resmi apapun untuk mampu menciptakan kerajinan tangan. Mereka hanya mengikuti tutorial melalui media sosial seperti YouTube dan sebagainya. "Dari mbak-mbak KKN (Kuliah Kerja Nyata) juga diajarkan juga," ucap mahasiswa peternakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini.

Pengelola Gubuk Baca Lereng Busu, Kusnadi Abit mengaku sengaja menerapkan pembayaran menggunakan sampah. Ia dan para pendamping tidak tega untuk menarik biaya dari anak-anak yang keluarganya sebagian besar hanya berprofesi sebagai peternak sapi. Selain bisa menjadi bahan kerajinan tangan, metode pembayaran ini dapat mengurangi sampah di rumah.

Dimulai Sejak Pandemi Covid-19

Program belajar-mengajar di Gubuk Baca Lereng Busu sebenarnya telah dimulai sejak beberapa tahun lalu. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka membantu anak-anak setempat memahami pembelajaran di sekolah. Namun untuk metode pembayaran sampah baru dilaksanakan sekitar tiga bulan lalu.

photo
Sejumlah kreasi sampah dari anak-anak di Gubuk Baca Lereng Busu, Jabung, Kabupaten Malang, Ahad (30/8). - (Republika/Wilda Fizriyani)

"Selama pandemi, karena para pendamping ini kan bingung, dari sisi lain operasional butuh ATK seperti kapur dan sebagainya. Mau narik iuran nggak tega, terus ada inisiatif sampah yang bisa dibuat ecobrick atau hiasan yang bisa kita jual," ujar pria disapa Cak Kus tersebut.

Para pendamping di gubuk baca terdiri atas anak-anak yang duduk di bangku SMP, SMA dan perguruan tinggi. Mereka diminta mendampingi proses belajar anak-anak di tingkat Paud dan SD. 

Selama pandemi Covid-19, anak-anak memang masih tetap mengikuti proses pembelajaran dari guru-guru di sekolah. Namun berhubung sinyal internet di Dusun Busu buruk, maka mereka hanya memanfaatkan media sosial WhatsApp. Situasi ini yang membuat Cak Kus dan pendamping harus bekerja lebih keras membantu anak-anak selama pandemi. 

"Mau nggak mau kita harus lebih ekstra bantu sekolah untuk edukasi mereka karena mereka tanggung jawab kita, bukan hanya sekolah," ucapnya.

Cak Kus berharap, totalitas para pendamping dalam membantu adik-adiknya bisa berbuah manis. Anak-anak dapat mengenyam pendidikan tinggi dan berkarir baik di masa mendatang. Aktivitas di gubuknya juga diharapkan bisa terus dilestarikan dan berkembang di berbagai wilayah.

Cita-cita yang didengungkan Cak Kus tidak lepas dari pengalamannya di masa lalu. Sebagian besar anak-anak di Dusun Busu hanya mampu sekolah sampai tingkat SD. Ketika lulus, mereka terutama anak laki-laki diminta mencari rumput untuk memberi makan sapi. 

Cak Kus sendiri hanya lulusan SMP. Dia mengaku, kesulitan mencari pekerjaan dengan hanya modal ijazah SMP. Dari sini dia meyakini, keilmuan dan pendidikan berpengaruh besar terhadap rezeki serta kesuksesan seseorang.

"Jadi biarlah kita yang tua ini pendidikannya rendah yang penting adik-adik di Dusun Busu bisa sekolah sampai tinggi. Nggak kuper (kurang pergaulan), punya pengalaman luas, pendidikan baik dan karir baik," ujar pria yang mengaku bekerja serabutan selama pandemi Covid-19.

Saat ini terdapat 30 anak di Dusun Busu telah mengemban status mahasiswa di beberapa perguruan tinggi. Fenomena ini jauh berbeda dibandingkan sebelum gubuk baca berdiri, yakni 2015 lalu. Saat itu,  sebagian besar anak-anak hanya mampu sekolah sampai tingkat SD dan SMP. 

Capaian ini tidak serta merta membuat Cak Kus tinggi hati. Program gubuknya hanya pemantik agar anak-anak termotivasi untuk belajar. Di samping itu, ada peranan orang tua yang semakin sadar akan pentingnya pendidikan.

Peserta didik Tasya (9) mengaku, senang bisa mengikuti aktivitas di Gubuk Baca Lereng Busu yang dikelola Cak Kus. Dari sejumlah program yang diadakan, Tasya paling menyukai aktivitas menari tarian Bapang. Selain bisa bergerak, dia juga merasakan sukacita melalui tarian tersebut.

Masalah sinyal di daerah pelosok Kabupaten Malang telah didengar oleh pemerintah setempat. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang tengah berupaya menyediakan layanan internet atau WiFi gratis di seluruh desa. Saat ini tercatat terdapat 33 kecamatan, 12 kelurahan dan 378 desa di Kabupaten Malang. 

Di kesempatan lain, Bupati Malang, M Sanusi mengaku telah menyiapkan anggaran sekitar Rp 15 miliar untuk fasilitas WiFi gratis. Saat ini anggaran tersebut tengah dalam pembahasan di DPRD Kabupaten Malang. Setelah disetujui, Kabupaten Malang akan mengajukan penganggaran tersebut ke Gubernur Jawa Timur (Jatim) untuk disepakati.

"Nanti baru kita bantu tentang pengadaan jaringan itu sampai Desember 2020," ungkap Sanusi di Savana Hotel & Convention, Kota Malang.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement