Sabtu 29 Aug 2020 04:00 WIB

Aturan 2 Meter Ketinggalan Zaman, Berapa Jarak Amannya?

Aturan jaga jarak 2 meter dibuat berdasarkan ilmu pengetahuan abad 19.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Reiny Dwinanda
Lontaran droplet ternyata bisa menjangkau lebih jauh daripada batas jarak aman yang dianjurkan WHO.
Foto: Slash Gear
Lontaran droplet ternyata bisa menjangkau lebih jauh daripada batas jarak aman yang dianjurkan WHO.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama pandemi Covid-19, aturan menjaga jarak fisik dua meter antarorang di tempat umum menjadi intervensi non-farmasi dalam menahan penyebaran virus corona tipe baru. Penelitian baru yang diterbitkan BMJ menyatakan, aturan yang menetapkan jarak tertentu antara orang-orang itu didasarkan pada ilmu pengetahuan yang kaku dan ketinggalan zaman dengan tidak memperhitungkan kompleksitas virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 itu.

Penulis utama penelitian itu dari University of Oxford, Nicholas Jones, mengatakan bahwa aturan yang didasarkan pada satu jarak tertentu berasal pada dikotomi yang terlalu sederhana menggambarkan transfer virus melalui tetesan udara tanpa memperhitungkan udara yang diembuskan.

Baca Juga

Meskipun aturan dua meter ditetapkan dalam pedoman saat ini, tapi transmisi virus bergantung pada banyak faktor lain. Dilansir Health 24, bukti menunjukkan bahwa lontaran droplet yang dikeluarkan, misalnya lewat batuk atau berteriak, dapat menyebar sejauh tujuh sampai delapan meter.

Kenapa aturannya dua meter? Studi tentang bagaimana percikan liur dapat menempel saat berbicara atau dari batuk dan bersin dilakukan pada abad ke-19. Pada 1897, jarak satu sampai dua meter diusulkan sebagai sampel droplet terlihat pengujian yang dilakukan menggunakan piring atau gelas.

Sebuah studi pada 1948 menunjukkan bahwa dalam penyebaran streptokokus hemolitik, kurang dari 10 persen peserta menghasilkan percikan yang menempuh jarak 1,7 meter. Sekali lagi dunia sains menetapkan bahwa dua meter adalah jarak aman untuk menahan penyebaran patogen dari satu orang ke orang lain.

Namun, studi itu memiliki keterbatasan. Menurut para peneliti, tinjauan sistematis terbaru menunjukkan bahwa percikan pernapasan memiliki kemampuan untuk melakukan perjalanan lebih dari dua meter.

Dalam penelitian itu, Jones menyarankan bahwa aturan jarak perlu mempertimbangkan beberapa faktor yang dapat memengaruhi risiko, seperti pengaturan dalam ruangan versus luar ruangan, tingkat ventilasi, dan apakah masker wajah dikenakan dalam pangaturan tertentu? Penelitian juga memperhitungkan bahwa viral load, lamanya pajanan pada orang yang berbeda, dan kerentanan seseorang terhadap tertular Covid-19 itu dapat berperan.

Hal tersebut akan memberikan perlindungan yang lebih besar dalam pengaturan risiko tertinggi, tetapi juga kebebasan lebih besar dalam pengaturan-risiko yang lebih rendah. Pertimbangan tersebut berpotensi memungkinkan kembali ke arah normal dalam beberapa dekade aspek kehidupan sosial dan ekonomi.

Dalam situasi berisiko tinggi sepeti klub malam atau bar yang ramai, jarak fisik lebih dari dua meter harus dipertimbangkan. Sementara situasi berisiko rendah memerlukan jarak yang tidak terlalu ketat.

“Jarak fisik harus dilihat hanya sebagai satu bagian dari pendekatan kesehatan masyarakat yang lebih luas untuk mengatasi pandemi Covid-19," ujar Jones.

Jarak fisik harus digunakan dalam kombinasi dengan strategi lain untuk mengurangi risiko penularan, termasuk cuci tangan, pembersihan permukaan secara teratur, peralatan perlindungan dan penutup wajah, strategi kebersihan udara, dan isolasi individu yang terkena dampak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement