Kamis 27 Aug 2020 21:44 WIB

Sejarah Bantuan Tunai: Dulu Ada BLT, Kini Subsidi Gaji

Bantuan tunai untuk masyarakat juga pernah diberikan pada zaman pemerintahan SBY.

Dirut BP Jamsostek (kanan) menyerahkan secara simbolis Bantuan Subsidi Upah (BSU) kepada Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Pemerintah meluncurkan program subsidi gaji sebesar Rp 2,4 juta per orang untuk pekerja terdampak pandemi Covid-19. (ilustrasi)
Foto: Tangkapan layar akun youtube Sekretariat Pres
Dirut BP Jamsostek (kanan) menyerahkan secara simbolis Bantuan Subsidi Upah (BSU) kepada Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Pemerintah meluncurkan program subsidi gaji sebesar Rp 2,4 juta per orang untuk pekerja terdampak pandemi Covid-19. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Sapto Andika Candra, Febryan A

Pemerintah Indonesia resmi memberikan subsidi gaji kepada para pekerja secara nasional serta Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Bantuan tunai ini merupakan langkah program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk membantu publik menghadapi tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Baca Juga

Subsidi gaji tersebut hampir serupa dengan program yang digulirkan pemerintah pada 2005 lalu yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT). Program yang dikeluarkan pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu merupakan respons kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dunia pada saat itu.

Pemerintah Indonesia kemudian memutuskan memotong subsidi minyak yang berdampak pada peningkatan harga barang dan jasa saat itu. Kedua program serupa tersebut memiliki tujuan utama yang sama, yakni membantu masyarakat agar tetap dapat memenuhi kebutuhan hariannya.

Program BLT merupakan ide yang lahir dari Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla usai memenangkan Pemilu 2004 bersama Presiden SBY. Eksekutif, mengacu pada perintah presiden nomor 12 tahun 2005 menggerakan program BLT tanpa tsyarat pada Oktober 2005 sampai Desember 2006 dengan target 19,2 juta keluarga miskin.

Target utama dari program pemerintah itu adalah keluarga miskin dengan anak berusia antara 0 sampai 15 tahun, atau ibu yang sedang hamil saat ini. Dana tunai akan diberikan kepada keluarga pendaftar selama enam tahun. Program ini telah diberikan ke 20 provinsi, 86 daerah dan 739 sub daerah dengan jumlah yang telah berhasil 816.000 keluarga miskin.

Saat itu, target penerirma BLT mendapatkan transfer tunai Rp 300 ribu yang dikirim melalui kantor pos. Pembayaran dilakukan secara tiga tahap dimulai pada bulan Oktober dan tambahan pembayaran sebesar Rp 300 ribu sisannya diberikan pada tahun berikutnya dengan total insentif Rp 1,2 juta per rumah tangga.

Program serupa kemudian kembali digerakan tiga tahun berselang berdasarkan Perintah Presiden Indonesia nomor 3 tahun 2008. Namun, total nomimal yang diberikan kepada masyarakat dipangkas menjadi Rp 900 ribu dan ditutup setelah sembilan bulan.

Program BLT dilaksanakan berdasarkan koordinasi lintas sektoral yang bekerja sama berdasarkan fungsi dan tugas pokok masing-masing lembaga. Penanggung jawab penyaluran dana BLT adalah Departemen sosial yang bekerja sama dengan berbagai instansi pemerintah terkait.

Depsos memiliki kewajiban untuk menyiapkan dana berdasarkan daftar nominatif dan menyampaikan surat perintah kepada PT Pos Indonesia untuk membayarkan dana BLT. Melalui Kepmensos No. 28/HUK/2008, Menteri Sosial menunjuk PT Pos Indonesia dan BRI sebagai pelaksana penyaluran dana BLT 2008 kepada masyarakat.

Mekanisme data penerima BLT saat itu berada di tangan Badan Pusat Statustik (BPS) pusat. Daftar nama dan alamat penerima saat itu disimpan dalam sistem database BPS, Depsos dan PT Pos Indonesia.

Pengiriman data berdasarkan nama dan alamat rumah tangga sasaran dari BPS ke PT Pos Indonesia secara nasional. Selanjutnya, pengecekan kelayakan daftar rimah tangga sasaran di tingkat desa/kelurahan.

Program BLT selanjutnya tidak pernah digulirkan lagi oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di tengah pandemi Covid-19, Jokowi memilih memberikan bantuan bantuan kombinasi uang tunai plus sembako untuk warga dan subsidi gaji khusus bagi pekerja.

Khusus subsidi gaji, total jumlahnya Rp 2,4 juta perorang dengan target 15,7 juta pekerja. Subsidi gaji diberikan pemerintah saat ini mengacu pada data para pekerja yang terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Insentif atau cash transfer juga hanya diberikan ke pekerja yang penghasilannya Rp 5 juta per bulan dengan iuran BPJS Ketenagakerjaan di bawah Rp 150 ribu per bulan.

Mekanisme penyaluran bantuan diberikan sebesar Rp 600 ribu per bulan selama empat bulan. Dana akan langsung diberikan per dua bulan ke rekening masing-masing pekerja sehingga tidak akan terjadi penyalahgunaan.

Presiden Jokowi berharap program subsidi upah kepada pekerja dan buruh bergaji kurang dari Rp 5 juta per bulan bisa ikut mendongkrak daya beli. Menurutnya, daya beli yang kembali naik akan berbuntut pada kenaikan konsumsi rumah tangga sehingga mengamankan Indonesia dari jurang resesi ekonomi.

"Ya memang dengan adanya PHK, kemudian omzet usaha turun, ini konsumsi rumah tangga juga terpengaruh. Semuanya terpengaruh," kata presiden saat memberikan bantuan subsidi gaji secara simbolis, di Istana Negara, Kamis (27/8).

Demi menggenjot konsumsi ini, pemerintah memang telah merilis sejumlah insentif atau bantuan. Mulai dari bantuan langsung tunai kepada masyarakat, hibah kepada pelaku UMKM, hingga yang terbaru adalah subsidi gaji kepada karyawan dan buruh.

"Totalnya enggak tahu ini berapa puluh juta masyarakat yang telah kita berikan bantuan ini. Kita harapkan dengan bantuan ini konsumsi rumah tangga tidak terganggu, daya beli masyarakat meningkat, dan kita harapkan pertumbuhan ekonomi negara kta indonesia menjadi kembali pada posisi normal," ujar Jokowi menjelaskan.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah menjelaskan, bantuan akan ditransfer langsung ke rekening pekerja yang berada di bank-bank milik pemerintah (Himbara). Penyaluran subsidi gaji, ujarnya, akan diberikan sebesar Rp 600 ribu per bulan selama 4 bulan dengan total Rp 2,4 juta.

"Dicairkannya dalam dua tahap, masing-masing sebesar Rp 1,2 juta sekali pencairan," kata Ida.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal berpendapat, kebijakan bantuan subsidi gaji bagi karyawan bergaji di bawah Rp 5 juta belum tentu bisa mendongkrak perekonomian nasional. Sebab, tingkat konsumsi terbesar sebenarnya ada pada masyarakat kelas atas, bukan pada masyarakat kelas menengah ke bawah yang kini sebagian mendapat subsidi.

Fithra mengatakan, kebijakan subsidi ini tentu baik bagi perekonomian. Saat ada dana yang dicairkan, tentu akan menggerakkan perekonomian. "Tapi apakah subsidi ini bisa mendongkrak ekonomi? Belum tentu," kata Fithra kepada Republika, Kamis (27/8).

Fithra menjelaskan, subsidi gaji dan berbagai subsidi lainnya itu diberikan pemerintah kepada masyarakat miskin atau 40 persen lapisan bawah tengah. Kendati jumlahnya banyak, tapi konsumsi mereka tak terlalu dominan jika dihitung secara nasional. Apalagi, konsumsi mereka tak terlalu turun saat pandemi ini.

"Proporsi konsumsi yang dominan itu pada kelas atas atau 20 persen atas," kata Fithra. Namun, lanjut dia, konsumsi kelompok 20 persen atas juga menurun di tengah pandemi. Mereka mengurangi konsumsi dalam rangka memperhitungkan risiko ke depan.

"Saya rasa, efek penggandanya akan terasa jika kita masuk ke (kelompok) yang 20 persen, karena yang 20 persen ini lebih banyak di supply side karena mereka kan industrialis," ujar Fithra.

Fithra menekankan, dirinya bukan tak mendukung kebijakan subsidi kepada masyarakat kelas bawah. Bahkan ia menilai kebijakan ini tepat sebagai jaring pengaman. Hanya saja, kebijakan ini belum bisa mendongkrak perekonomian nasional.

"Pemerintah tepat melakukan subsidi ini, tapi tambah anggaran saja untuk yang 20 persen di atas (juga)," ucapnya.

photo
Bantuan gaji pekerja - (Tim infografis Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement