Rabu 26 Aug 2020 21:14 WIB

Gawai Jadi Alasan Utama Anak-Anak Kerja di Kebun Sawit

Ada pekerja anak yang masih bersekolah, ada pula yang putus sekolah.

Ilustrasi perkebunan sawit. Pembelian telepon genggam atau gawai dan kuota internet menjadi alasan utama anak-anak di Desa Seberu, Kalimantan Barat, bekerja di kebun sawit.
Foto: Antara/Andika Wahyu
Ilustrasi perkebunan sawit. Pembelian telepon genggam atau gawai dan kuota internet menjadi alasan utama anak-anak di Desa Seberu, Kalimantan Barat, bekerja di kebun sawit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembelian telepon genggam atau gawai dan kuota internet menjadi alasan utama anak-anak di Desa Seberu, Kalimantan Barat, bekerja di kebun sawit. Alasan lainnya, yakni membeli rokok.

"Membeli gadget, kuota dan rokok selalu menjadi alasan utama untuk anak-anak yang bekerja di kebun sawit terutama yang putus sekolah," kata Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) M Wahyu Ghani dalam seminar virtual "Ketahanan Keluarga dan Pemenuhan Kepentingan Terbaik Bagi Anak pada Masyarakat Perkebunan Kelapa Sawit", Jakarta, Rabu (26/8).

Baca Juga

Seminar itu diselenggarakan oleh LIPI bekerja sama dengan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak dan Unicef. 

Dari penelitian yang dilakukan LIPI di Desa Seberu, Wahyu menuturkan tidak ditemukan pekerja anak yang bekerja di perusahaan perkebunan sawit. Wahyu menemukan dua kriteria pekerja anak, yakni pekerja anak yang masih bersekolah dan pekerja anak yang putus sekolah.

 

Pekerja anak yang masih bersekolah tetap fokus bahwa bersekolah sebagai tujuan utamanya. Mereka biasanya membantu untuk bekerja di kebun sawit milik orang tuanya tanpa bekerja di kebun orang lain. Mereka rata-rata bekerja selama satu jam. 

Pekerja anak yang bekerja di kebun milik orang tuanya tidak pernah dibayar secara khusus. "Pekerja anak yang memutuskan ikut membantu orang tuanya mengolah kebun sawit setelah melaksanakan kewajibannya bersekolah," tuturnya.

Sementara pekerja anak yang memutuskan berhenti sekolah dan fokus bekerja baik di kebun milik orang tuanya sendiri maupun kebun milik kerabat orang lain. Pekerja anak yang bekerja di kebun milik orang lain seperti kerabat atau tetangga dibayar Rp 75 ribu-80 ribu per hari, sementara pekerja dewasa mendapat upah Rp 100 ribu.

Wahyu menuturkan bukan kemiskinan yang satu-satunya membuat anak bekerja dan berhenti sekolah. Pada kasus tertentu, Wahyu menemukan tidak ada imajinasi untuk menjadi sukses dengan bersekolah. 

Dia menuturkan ada anak yang finansial orang tuanya baik. Namun, ia memutuskan berhenti bersekolah karena sudah tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolah.

Penelitian itu juga menemukan bahwa anak kecil merokok dianggap sesuatu yang biasa di sana. Peneliti tidak pernah menemukan pekerja anak dengan gender perempuan di kebun sawit di Desa Seberu. 

Desa Seberu berjarak sembilan jam dari Kota Pontianak dan dihuni sekitar 1.700-an orang dengan dominasi suku Dayak.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement