Rabu 26 Aug 2020 17:08 WIB

Kata Cinta dari Keluarga Korban Penembakan Christchurch

Kesaksian keluarga korban dalam sidang penembakan Christchurch membuat orang menangis

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
 Weedad Mohamedhosen memberikan pernyataan dampak korbannya selama sidang hukuman untuk warga Australia Brenton Harrison Tarrant di Pengadilan Tinggi Christchurch setelah Tarrant mengaku bersalah atas 51 dakwaan pembunuhan, 40 dakwaan percobaan pembunuhan dan satu dakwaan terorisme di Christchurch, Selandia Baru, Rabu, Agustus 26, 2020. Lebih dari 60 orang yang selamat dan anggota keluarga akan menghadapi pria bersenjata masjid Selandia Baru minggu ini ketika dia muncul di pengadilan untuk dihukum atas kejahatannya dalam kekejaman terburuk dalam sejarah modern bangsa.
Foto: John Kirk-Anderson/Pool Photo via AP
Weedad Mohamedhosen memberikan pernyataan dampak korbannya selama sidang hukuman untuk warga Australia Brenton Harrison Tarrant di Pengadilan Tinggi Christchurch setelah Tarrant mengaku bersalah atas 51 dakwaan pembunuhan, 40 dakwaan percobaan pembunuhan dan satu dakwaan terorisme di Christchurch, Selandia Baru, Rabu, Agustus 26, 2020. Lebih dari 60 orang yang selamat dan anggota keluarga akan menghadapi pria bersenjata masjid Selandia Baru minggu ini ketika dia muncul di pengadilan untuk dihukum atas kejahatannya dalam kekejaman terburuk dalam sejarah modern bangsa.

REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Kata-kata cinta yang indah dari putri korban penembakan Christchurch membuat banyak orang menangis dalam sidang penembakan massal terburuk sepanjang sejarah Selandia Baru itu. Para penyintas dan keluarga korban memberikan kesaksian dalam sidang vonis Brenton Harrison Tarrant.

Sara Qasem mengatakan ia bertanya-tanya apakah di saat-saat terakhir ayahnya merasakan rasa sakit atau ketakutan. Ia berharap berada di sana untuk menggenggam tangan ayahnya. Sara memberitahu Tarrant nama ayahnya adalah Abdelfattah Qasem.

Baca Juga

"Semua hal yang diinginkan anak perempuan adalah ayahnya, saya ingin melakukan perjalanan lebih banyak dengannya, saya ingin menghirup lagi aroma masakan hasil kebunnya, wangi parfumnya, saya ingin dia menceritakan lebih banyak tentang pohon zaitun di Palestina, saya ingin mendengar suaranya, suara ayah saya, suara baba saya," kata Sara Qasem, Rabu (26/8).

Kesaksian Qasem disampaikan di hari ketiga sidang vonis Tarrant yang membantai jamaah sholat Jumat pada Maret 2019 lalu. Laki-laki asal Australia berusia 29 tahun itu dinyatakan bersalah atas dakwaan pembunuhan, percobaan pembunuhan dan terorisme.

Sidang itu memberi kesempatan bagi para penyintas dan keluarga korban untuk berhadapan langsung dengan Tarrant. Sebagai besar dari mereka meminta hakim menjatuhkan hukuman seberat-beratnya, penjara seumur hidup tanpa syarat.

Selama sidang Tarrant tidak menunjukkan emosinya sama sekali. Terkadang ia mengangguk kecil atau menyeringai menghina orang-orang yang sedang menyampaikan kisah mereka. Qasem mengatakan Tarrant telah mengambil pilihan.

"Secara sadar, bodoh, tak bertanggung jawab, berdarah dingin, egois, menjijikan, keji, busuk, tak tahu apa-apa dan jahat," katanya.  

Qasem mengatakan ia kasihan dengan hati Tarrant yang tercemar dan kotor. Pada pandangannya yang sempit tentang dunia yang tidak menerima keanekaragaman.

"Lihat sekeliling ruangan sidang ini, siapa orang 'lain' di sini, sekarang, kami atau kamu? Saya pikir jawabannya cukup jelas," kata Qasem.

Qasem menambahkan cinta akan selalu menang. Tarrant terlihat lebih kurus dibandingkan saat ia ditangkap. Selama sidang ini ia tidak menunjukkan ketangguhan yang ditampilkan dalam sidang pertamanya. Ketika ia kerap menunjukkan gestur tangan supremasi kulit putih.

Dalam sidang vonis ini laki-laki asal Australia itu mewakili dirinya sendiri. Ia dapat berbicara setelah seluruh penyintas dan keluarga korban selesai. Tapi hakim tampaknya menutup seluruh upaya yang dapat membuatnya menyampaikan kesaksian.

Tarrant membunuh 51 orang yang sedang beribadah di masjid Al Noor dan Linwood. Peristiwa itu mendorong pemerintah Selandia Baru melarang senjata api semi otomatis yang mematikan.

Selandia Baru juga menjadi garda depan perjuangan untuk menetapkan protokol media sosial. Sebab, serangan Tarrant disiarkan secara langsung di Facebook.

Ahad Nabi yang ayahnya juga korban penembakan tersebut juga berbicara dalam sidang. Ia menetap langsung Tarrant dan menunjuknya dengan kedua tangannya.

"Ayah Anda adalah tukang sampah dan Anda menjadi sampah masyarakat," katanya.

Ia mengatakan selama selama 10 menit serangan berlangsung, Tarrant menjadi domba yang memakai bulu serigala. Kesaksian ayah dari korban termuda penembakan tersebut, Mucaad Ibrahim yang berusia 3 tahun juga dibacakan dalam sidang tersebut.

Ia mengatakan putranya senang bermain di halaman masjid dan berteman dengan semua orang, baik muda maupun tua. Ayahnya mengatakan Mucaad senang berlari dan memakai seragam polisi.

"Kekejaman dan kebencian Anda tidak menghasilkan apa yang Anda harapkan, justru mempersatukan masyarakat Christchurch, memperkuat iman kami, mengangkat harkat keluarga kami dan membawa negara kami menuju perdamaian," katanya. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement