Rabu 26 Aug 2020 14:41 WIB

Wapres: Jangan Puas Diri dengan Indeks Persepsi Korupsi

Indeksi Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2019 meningkat dari 38 menjadi 40.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Esthi Maharani
Wakil Presiden Maruf Amin
Foto: Dok. KIP/Setwapres
Wakil Presiden Maruf Amin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Ma'ruf Amin meminta komitmen kuat semua pihak untuk ikut dalam upaya pencegahan korupsi. Ma'ruf menilai pencegahan korupsi di semua sektor tidak memiliki batas waktu, termasuk jika angka indeks persepsi korupsi (IPK) di Indonesia telah menunjukkan peningkatan sekalipun.

"Indeksi Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2019 meningkat dari 38 menjadi 40. Namun demikian kita jangan berpuas diri dulu," ujar Ma'ruf dalam sambutan penutupan acara nasional pencegahan korupsi (ANPK) melalui virtual, Rabu (26/8).

Ma'ruf menerangkan, ini karena Indonesia saat ini masih berada di posisi 85 dari 180 negara dalam urutan IPK tersebut. Sementara di Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat empat setelah Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia.

Selain itu, hal yang harus dicermati, kata Ma'ruf, data KPK bulan Desember 2019 menunjukkan, masih terjadi 127 tindak pidana korupsi oleh berbagai profesi yang didominasi kepala daerah, pejabat struktural, dan swasta.

"Masih tingginya tindak pidana korupsi tersebut menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa sistem pencegahan korupsi harus lebih mampu menutup celah dan peluang terjadinya korupsi," kata Ma'ruf.

Karenanya, ia meminta Tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi yang dibentuk Pemerintah itu benar benar melaksanakan aksi pencegahan korupsi. Ia berharap Stranas PK, tidak hanya sekedar pemenuhan administrasi dan hanya menjadi sebuah dokumen.

"Akan tetapi semangat anti korupsinya harus diinternalisasikan oleh seluruh individu dalam lingkungan birokrasi," ujarnya.

Ia mengatakan, birokrasi sebagai motor penggerak pembangunan nasional juga harus memiliki integritas tinggi. Adanya, oandemi Covid-19 menjadi momentum birokrasi di berbagai negara melakukan akselerasi untuk mengubah cara kerja dan penyesuaian dengan kondisi keterbatasan yang ada. Birokrasi harus mampu hadir dengan DNA baru yang lebih inovatif, adaptif, dan responsif.

"Transformasi governansi publik harus dilakukan secara sistematis dan terukur. Hal ini sangat diperlukan untuk membentuk birokrasi menuju Indonesia Maju," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement