Rabu 26 Aug 2020 09:35 WIB

Cerita Warga Tergusur yang Hidup di Samping Rel Kereta

128 warga tergusur ke Rusun Marunda karena tinggal di lahan Stasiun Kampung Bandan.

Warga korban gusuran di sekitar Stasiun Kampung Bandan, Ancol, Jakut, Senin (24/8) malam WIB.
Foto: Muhamad Ubaidillah
Warga korban gusuran di sekitar Stasiun Kampung Bandan, Ancol, Jakut, Senin (24/8) malam WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhamad Ubaidillah

Tahun 2020 menjadi waktu yang tidak akan terlupakan bagi warga RT 06, RW 04, Kelurahan Ancol, Jakarta Utara. Tepatnya pada Rabu (15/7), rumah-rumah mereka digusur PT Kereta Api Indonesia (KAI). Penggusuran ini bukannya tanpa sebab, tanah yang diduduki merupakan emplasemen Stasiun Kampung Bandan.

Sejak penggusuran itu mereka hidup bak orang sedang berkemah. Tenda-tenda biru berjejer di sisi kiri dan kanan rel. Jangan membayangkan tenda biru pernikahan yang megah, kondisinya lebih menyedihkan.

Tiupan angin pada Senin (24/8) malam WIB, begitu dingin. Saat lihat layar gawai, cuaca berada di suhu 29 derajat Celcius, namun keterangannya terasa seperti 24 derajat. Kondisi yang cukup dingin bagi warga Indonesia. Tujuh orang wartawan yang datang ke wilayah penggusuran semuanya memakai jaket.

Berbeda dengan anak-anak yang berada di dalam tenda dan warga korban penggusuran yang tengah berkumpul di depannya. Mereka duduk dengan bercelana pendek, kaus oblong, memakai sarung, rok, masker, dan hanya dua orang memakai jaket. "Sudah tua enggak kuat dingin," kata seorang warga.

Malam itu Lurah Ancol, Rusmin menyampaikan, pada Selasa (25/8) warga mulai direlokasi ke Rumah Susun Sewa Sederhana (Rusunawa) Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Setiap beberapa menit Rusman berhenti bicara, karena suara bising rel kereta. Padahal dia sudah menggunakan pengeras suara. "Iklan kopi dulu cap kereta api," kata Rusmin disertai gelak tawa warga.

Salah seorang korban penggusuran Arsyad mengatakan, suara bising rel, panas matahari, dan derasnya air hujan sering masuk hingga ke dalam tenda. Jauh sebelum itu, rumahnya yang digusur juga memiliki kondisi yang sama. "Iya derita enggak punya rumah layak dan tanah sendiri, tapi lama-lama terbiasa," kata Arsyad, Senin malam itu.

Pascapenggusuran, Arsyad bersama keluarganya tinggal di tenda yang terbuat dari terpal. Dapur dan tempat tidur berdampingan. Sedangkan toilet berbarengan dengan warga yang lain, berbentuk bilik, dan dibuat dari sisa-sisa bangunan. Airnya ambil dari sumur yang berada di sekitar lokasi.

Arsyad sudah 20 tahun tinggal di bantaran rel. Sehari-hari ia berkeliling berjualan kue rangi khas Betawi di wilayah Semper. Keuntungan yang didapat tak cukup untuk menyewa kontrakan atau menyicil rumah. Tapi, lanjut Arsyad cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Warga yang lain, Rasminiyati menceritakan sudah 58 tahun tinggal di bantaran rel. Banjir dan kebakaran pernah ia alami, namun dirinya tetap bertahan. Alasannya karena tidak ada tempat lain untuk tinggal.

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, perempuan yang akrab disapa Mpok Ras ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga di bilangan Jakarta Kota. Mpok Ras mengatakan jarak menuju tempat kerjanya cukup dekat, hanya satu kali naik angkutan umum.

"Saya tidak masalah dipindahkan ke rusun, tapi risikonya jarak ke tempat kerja lebih jauh, harus naik angkot dua kali," kata Rasminiyati di lokasi yang sama.

Rasminiyati berharap, di tempat tinggalnya yang baru pemerintah juga memfasilitasi pekerjaan. Sehingga jarak antara rumah dan tempat kerja dekat. Selain itu, beragam bantuan sembako saat pandemi ini juga sangat dibutuhkan.

Sebanyak 128 warga dari 34 kepala keluarga (KK) direlokasi menggunakan dua bus sekolah dan satu truk Satpol PP pada Selasa. Rusmin menjelaskan, Rusun Marunda dipilih karena biaya sewa yang terjangkau. Sehingga warga setuju direlokasi. Selain itu jaminan kesehatan, pendataan penduduk, dan penyaluran bantuan juga akan mudah diperoleh dibanding tinggal di pinggir rel.

"Ini demi kemanusiaan dan kepentingan jangka panjang. Jangan mikir kita-kita yang sudah tua, pikirkan masa depan anak-anak, kenyamanan tinggal di sana, dan bantuan kepastian hidup seperti kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial," kata Rusmin menjelaskan cara membujuk warga agar mau direlokasi.

Rusmin melanjutkan, biaya sewa di Rusunawa Marunda di lantai satu dikenakan sewa Rp 159 ribu per bulan, lantai dua Rp 148 ribu, lantai tiga Rp 144 ribu, lantai 4 Rp 136 ribu, dan lantai lima Rp 128 ribu. "Lantai satu diprioritaskan untuk warga yang sudah tua, yang sudah enggak kuat naik tangga," kata Rusmin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement