Selasa 25 Aug 2020 21:56 WIB

Wahyu Divonis 6 Tahun Penjara, Harun Masiku Masih Juga Buron

Hingga akhirnya Wahyu Setiawan divonis, KPK belum berhasil menangkap Harun Masiku.

Pewarta mengambil gambar terdakwa mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan yang sedang menjalani sidang pembacaan vonis melalui layar virtual di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Senin (24/08/2020). Wahyu Setiawan divonis hukuman enam tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan setelah terbukti melakukan korupsi saat menjabat sebagai Komisioner KPU.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Pewarta mengambil gambar terdakwa mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan yang sedang menjalani sidang pembacaan vonis melalui layar virtual di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Senin (24/08/2020). Wahyu Setiawan divonis hukuman enam tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan setelah terbukti melakukan korupsi saat menjabat sebagai Komisioner KPU.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah

Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan bersama mantan anggota Bawaslu yang juga mantan kader PDIP Agustiani Tio Fridelina divonis enam tahun penjara dalam kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR terpilih periode 2019-2024 setelah terbukti menerima suap terkait upaya PAW Harun Masiku. Namun, hingga kini, Harun Masiku masih belum berhasil ditemukan oleh KPK.

Baca Juga

"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," kata Ketua Majelis Hakim Susanti Arsi Wibawani saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (24/8).

Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa  KPK, yakni 8 tahun dan denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan. Dalam putusannya pun hakim  tidak sependapat dengan Jaksa Penuntut KPK untuk mencabut hak politik Wahyu selama empat tahun setelah menjalani masa hukuman.

 

"Majelis tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum untuk mencabut hak politik terdakwa," ucap Hakim Susanti.

Dalam putusannya, Wahyu terbukti  menerima uang sebesar 19 ribu dolar Singapura dan 38.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta dari kader PDIP, Saeful Bahri. Suap diberikan agar Wahyu menyetujui permohonan PAW anggota DPR Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I yakni Riezky Aprilia kepada Harun Masiku. Uang suap tersebut diterima Wahyu melalui Agustiani.

Tak hanya itu, Wahyu juga terbukti menerima gratifikasi sebanyak Rp500 juta terkait seleksi anggota KPU Daerah Papua Barat periode 2020-2025. Uang diberikan melalui Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Payapo agar mengupayakan orang asli Papua terpilih menjadi anggota KPUD

Atas perbuatannya, Wahyu dinyatakan melanggar Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP dan Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Hingga Wahyu dan Agustiani dijatuhi vonis oleh Pengadilan Tipikor, Jakarta, sudah sekitar 7 bulan KPK belum berhasil menangkap Harun Masiku. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyatakan, akan mengevaluasi satgas atau tim yang selama ini bekerja memburu Harun Masiku.

"InsyaAllah masih terus dilakukan. Di internal kami coba mngevaluasi kerja dari satgas yang ada," kata Nawawi kepada Republika, Senin (24/8).

Nawawi mengungkapkan, kemungkinan pihaknya akan menambah personel satgas ataupun menyertakan satgas pendamping. "Kami juga coba terus melakukan koordinasi dngan polri yang telah menetapkan status DPO terhadap tersangka," tegas Nawawi.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron menegaskan pihak KPK akan terus berupaya mencari Harun hingga tertangkap.  "Mengenai pencarian Harun Masiku KPK selama ini dan akan terus berupaya mengejar yang bersangkutan," tegas Ghufron.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pun mengatakan lembaganya masih terus melakukan pengejaran kepada Harun Masiku. Alex mengklaim, setiap informasi yang diberikan masyarakat ke KPK selalu ditindaklanjuti.

"Misalnya ada yang menyampaikan HM itu di satu tempat dan memberikan nomor hp ya kemudian kami ikuti," terangnya.

Sementara, Jaksa Penuntut Umum KPK Takdir Suhan usai sidang putusan Wahyu Setiawan menegaskan, kasus yang menjerat Wahyu Setiawan ini belum selesai dengan dibacakannya vonis terhadap Wahyu dan Agustiani. Karena, masih ada Harun Masiku yang hingga kini masih buron.

"Pastinya kasus ini belum selesai, soalnya masih ada Harun Masiku yang menjadi DPO itu. saat ini kami fokuskan adalah langkah hukum apa yang bisa yang kami tempuh, kaitannya dengan putusan Wahyu Setiawan yang salah satu poinnya tadi belum mengakomodir pencabutan hak politik, " tegas Takdir.

Kehilangan akal

Legal Culture Institute (LeCI) mengkritisi rencana KPK yang akan menambah personil dalam memburu buron Harun Masiku. LeCI menilai, secara psikologi hukum, KPK saat ini seperti kehilangan akal dalam melakukan investigasi dalam pencarian sosok Harun Masiku.

"KPK terkesan lost of mind Dan gagal bertindak. Kemudian menyebabkan fungsinya sebagai extraordinary bodies menjadi lemah karena mengikuti cara-cara biasa lembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan," kata Direktur LeCI M Rizqi Azmi kepada Republika, Selasa (25/8).

KPK, kata Rizqi, harus menyadari kembali arti penting kehadirannya sebagai extraordinary bodies di tengah-tengah harapan masyarakat. Berdasarkan study UNODC, mendirikan lembaga baru seperti KPK akan  memberikan 'keuntungan' lebih banyak dalam memberantas korupsi  dibandingkan hanya mengandalkan lembaga penegak hukum yang  telah ada seperti kepolisian dan kejaksaan, yang umumnya telah  terjangkiti penyakit 'korup'.

"Oleh karenanya kami menilai, kegiatan menambah kuantitas ini tidak dibutuhkan KPK," tegas Rizqi.

Karena sejatinya, Rizqi melanjutkan, KPK adalah badan tambahan istimewa dari aparat penegak hukum yang gagal menyelesaikan virus laten korupsi ini. KPK harus menunjukkan kualitas dan diferensiasinya dalam menyelesaikan setiap kasus korupsi tidak hanya Harun Masiku.

"Memang selain kelemahan dari internal KPK. Kami menganalisis telah terjadi pengkerdilan dari luar seperti riset yang menunjukkan lemahnya suatu komisi antikorupsi disebabkan beberapa hal," tuturnya.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menilai, rencana penambahan personel dalam memburu Harun Masiku merupakan suatu upaya yang baik. Namun, efektivitas jumlah tim pemburu bukanlah juru pamungkas untuk segera temukan caleg PDIP tersebut.

"Menambah personel mungkin akan efektif itu suatu upaya yg baik. Tetapi efektivitas perburuan tidak hanya dengan penambaahan personel, " ujar Zaenur kepada Republika, Selasa (25/8).

Zaenur menuturkan, salah satu cara yang efektif untuk mencari Harun Masiku misalnya dengan penggunan teknologi informasi yakni dengan penggunanan alat sadap. Menurut Zaenur, penggunaan alat sadap  sangat penting untuk mencari seorang buron.

"Karena untuk era sekarang, sedisiplin apa pun buron pasti ada celah ceroboh memungkinkan bisa dilakukan penyadapan," tutur Zaenur.

Zaenur menambahkan, penemuan Harun Masiku akan menetukan kredibilitas KPK ke depan. Karena, kasus yang menjerat mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan ini memiliki dimensi politik yg sangat kental karena diduga melibatkan petinggi partai politik.

photo
Harun Masiku - (istimewa)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement