Selasa 25 Aug 2020 15:34 WIB

Resesi Ekonomi dalam Prediksi Sri Mulyani

Ekonomi diproyeksi tumbuh antara minus 1,1 persen hingga positif 0,2 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi ekonomi Indonesia akan mengalami resesi di kuartal ketiga tahun 2020.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi ekonomi Indonesia akan mengalami resesi di kuartal ketiga tahun 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Rizkyan Adiyudha, Antara

Bayang-bayang resesi ekonomi agaknya akan menjadi kenyataan bagi Indonesia.  Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga berada pada rentang nol persen hingga negatif dua persen (yoy). Artinya, ekonomi Indonesia kemungkinan besar akan mengalami resesi mengingat kuartal kedua sudah mengalami pertumbuhan negatif 5,32 persen (yoy).

Baca Juga

Sri menjelaskan, faktor-faktor risiko yang berpotensi menyebabkan ekonomi pada kuartal ketiga mengalami kontraksi masih terasa nyata. "Pergerakan (indikator ekonomi) belum terlihat sangat solid, meskipun ada beberapa yang positif," ujarnya dalam dalam paparan kinerja APBN secara virtual pada Selasa (25/8).

Indikator yang dimaksud Sri terlihat pada kembali kontraksinya beberapa jenis pajak. Salah satunya, Pajak Penghasilan (PPh) 21 atau pajak karyawan yang sempat mengalami pertumbuhan positif 12,28 persen pada Juni. Pada bulan lalu, jenis pajak ini kembali tumbuh negatif 20,38 persen.

Begitupun dengan PPh badan yang kontraksi 45,55 persen pada akhir Juli. Padahal, pada Juni, tingkat kontraksinya sudah berada pada level 38 persen. Sri menuturkan, realisasi ini menggambarkan tekanan luar biasa yang masih dialami korporasi Indonesia.

Indikator lain yang disebutkan Sri adalah impor bahan baku. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), impor bahan baku pada Juli tumbuh negatif 34,46 persen (yoy), lebih dalam dibandingkan Juni yang kontraksi 13,27 persen (yoy).

Tekanan lebih dalam terlihat pada impor barang modal. Pada bulan lalu, kinerja impor ini tumbuh negatif 29,25 persen, memburuk signifikan dibandingkan realisasi Juni yang masih tumbuh positif 2,63 persen.

Sri mengatakan, sejumlah indikator tersebut menggambarkan, tren pemulihan di sektor produksi masih belum berjalan dengan stabil. "Mereka masih dalam tahap dini untuk melihat, apakah tren ekonomi menuju zona positif," tuturnya.

Melihat berbagai faktor yang ada, pemerintah memproyeksikan ekonomi Indonesia dapat tumbuh antara minus 1,1 persen hingga positif 0,2 persen sepanjang 2020. Sri menuturkan, kunci utamanya adalah pertumbuhan konsumsi dan investasi.

Apabila dua indikator tersebut masih tumbuh di zona negatif, Sri menilai, ekonomi Indonesia akan sulit untuk masuk dalam zona netral nol persen. Prediksi tersebut disampaikannya di tengah kerja keras pemerintah yang sudah habis-habisan dari sisi belanja.  

Sri menuturkan, fokus utama pemerintah saat ini adalah mengembalikan konsumsi dan investasi ke zona positif pada sisa dua kuartal ini. Sebelumnya, pada kuartal kedua, masing-masing indikator itu tumbuh negatif 5,51 persen  dan 8,61 persen.

Dari sisi investasi, Sri mengatakan, Presiden Joko Widodo telah meminta ke beberapa menteri untuk fokus melihat indikator investasi. Diharapkan, investasi sebagai salah satu penyokong pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mulai pulih, setidaknya tumbuh mendekati nol persen. "Ini sangat berarti," katanya.

Untuk mendorong konsumsi, pemerintah berharap banyak pada dampak pemberian bantuan sosial. Meski masih tidak sempurna dalam pendataan, Sri mengatakan, transfer bantuan ke masyarakat dapat membantu mereka untuk berbelanja.

Dalam paparannya lebih lanjut, Sri Mulyani menyebutkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 dari Januari hingga Juli 2020 telah mencapai Rp 330,2 triliun atau 2,01 persen persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sri Mulyani menyatakan defisit tersebut merupakan 31,8 persen terhadap pagu APBN dalam Perpres 72/2020 yang sebesar Rp1.039,2 triliun triliun atau 6,34 persen terhadap PDB.

"(Defisit) ini menggambarkan penerimaan mengalami tekanan sedangkan belanja naik akibat Covid-19," katanya dalam konferensi pers APBN KiTa.

Sementara itu, ia mengatakan realisasi pendapatan negara hingga Juli tahun ini mencapai Rp 922,2 triliun yaitu 54,3 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 yaitu Rp 1.699,9 triliun.

Pendapatan tersebut turun 12,4 persen (yoy) dibandingkan periode sama 2019 yaitu sebesar Rp 1.052,4 triliun yang tumbuh 5,8 persen dari Juli 2018.

Pendapatan negara turun karena penerimaan perpajakan terkontraksi hingga 12,3 persen (yoy) yaitu hanya Rp 711 triliun atau 50,6 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 Rp 1.404,5 triliun.

Untuk realisasi untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yaitu sebesar Rp 208,8 triliun yang terkontraksi hingga 13,5 persen (yoy) dan telah mencapai 71 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp 294,1 triliun.

Di sisi lain, realisasi belanja negara hingga Juli tahun ini tumbuh 1,3 persen (yoy) yaitu sebesar Rp 1.252,4 triliun dari Rp1.236,3 triliun pada periode sama tahun lalu.

Sri Mulyani mengatakan realisasi Rp 1.252,4 triliun tersebut merupakan 45,7 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 yaitu Rp 2.739,2 triliun. Pertumbuhan belanja negara ditunjang oleh belanja pemerintah pusat sebesar Rp 793,6 triliun yang tumbuh 4,2 persen dari periode sama 2019 yakni Rp 761,3 triliun dan 40,2 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 Rp 1.975,2 triliun.

Realisasi belanja pemerintah pusat yang tumbuh 4,2 persen itu didorong oleh belanja bantuan sosial Rp 117 triliun atau 68,6 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp 170,7 triliun dan mampu tumbuh hingga 55,9 persen

"Oleh karena itu dampaknya terhadap defisit APBN sangat besar yaitu di dalam perpres sampai akhir tahun estimasi sebesar 6,34 persen dari PDB dan sampai akhir Juli defisit adalah 2 persen," katanya.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengimbau publik untuk bersiap menghadapi resesi ekonomi. Hal tersebut menyusul prediksi Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait pertumbuhan negatif ekonomi pada kuartal ketiga tahun ini.

"Jika terjadi kontraksi pada kuartal ketiga artinya ekonomi kita akan terkonfirmasi resesi," kata Bhima Yudhistira Adhinegara, Selasa (25/8).

Menurutnya, minimnya minat konsumsi publik memperlihatkan kekhawatiran mereka di tengah kasus Covid-19 yang terus meningkat saat ini. Dia mengatakan, kondisi tersebut membuat masyarakat enggan untuk membelanjakan uang mereka.

Dia melanjutkan, di saat yang bersamaan, pemerintah juga terlambat untuk mengeluarkan program insentif gaji kepada para pekerja nasional. Dia mengatakan, kebijakan itu baru dikeluarkan jelang akhir kuartal ketiga yang saat ini hanya menyisakan satu bulan lagi.

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa realisasi insentif tersebut juga banyak tertunda serta realisasi yang rendah. Akibatnya harapan peningkatan konsumsi di level rumah tangga jadi buyar.

Dia mengatakan, kontraksi ekonomi pada kuartal ketiga juga wajar terjadi menyusul sedikitnya investasi yang masuk. Dia melanjutkan, saat ini investor berada dalam posisi wait and see menunggu kapan pemulihan ekonomi dapat terjadi.

"Mereka juga ingin memastikan situasi ekonomi global yang masih banyak tekanan, apalagi kuartal ketiga jelang pilpres AS sehingga banyak yang melihat resiko investasi cukup tinggi," katanya.

Dia mengatakan, kinerja ekspor dan impor nasional juga terganggu akibat pandemi yang terjadi. Industri manufaktur misalnya mengerem produksi dengan mengurangi impor bahan baku sehingga mengganggu kinerja ekspor.

Di satu sisi, Bhima juga meminta masyarakat untuk lebih banyak berhemat dan menabung guna menyiapkan dana darurat. Menurutnya, publik tidak perlu membeli barang-barang yang tidak sesuai kebutuhan dan belanja dengan mengukur kemampuan finansial masing-masing.

photo
Resesi ekonomi. - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement