Selasa 25 Aug 2020 14:09 WIB
Cerita di Balik Berita

Rasa Itu Bisa Beku: Bad News is Good News

Jika tak hati-hati, pekerjaan menjadi wartawan bisa menumpulkan rasa.

M Subroto, Jurnalist Republika
Foto: Daan Yahya/Republika
M Subroto, Jurnalist Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika

Bad news is good news. Kabar buruk itu adalah berita yang bagus. Walaupun adagium itu tidak selalu benar, tapi secara umum wartawan memang cenderung untuk mencari kabar buruk.

Karena apa? Di sana ada nilai berita. Misalnya, jika di jalan tol lancar-lancar saja, itu tak ada nilai beritanya. Namun, jika tiba-tiba ada tabrakan beruntun, maka jadi berita.

Wartawan bisa meliput dan memberitakannya. Makin dahsyat kecelakaan makin tinggi nilai beritanya. Makin banyak korban yang jatuh makin bagus beritanya.

Karena itu kalau tidak hati-hati, jadi wartawan itu bisa mati rasa. Bagi orang lain banjir itu musibah, tapi bagi wartawan itu berita bagus. Gunung meletus itu menyengsarakan warga, tapi wartawan jadi punya banyak berita.

Wartawan yang ngepos di desk kota biasanya tiap hari mengecek kamar mayat rumah sakit, kalau-kalau ada orang yang meninggal tak wajar. Apakah kecelakaan, dibunuh, bunuh diri, atau sebab lain. Wartawan yang ngepos di kepolisian berharap setiap hari dapat durian runtuh berupa kejadian kriminal, kebakaran, penggusuran, atau lainnya. Semua bad news jadi good news.

Tahun 1996 aku meliput di Rumah Sakit PMI Bogor, Jawa Barat. Siang itu terjadi kecelakaan lalu lintas di Kota Bogor. Dua pelajar laki-laki SMA yang berboncengan ditabrak truk. Satu orang meninggal. Seorang lainnya luka parah tak sadarkan diri.

Aku memeriksa pelajar yang meninggal di kamar mayat. Bahan berita bagus ini. Namun korbannya ‘cuma’ satu. Seorang korban yang luka parah masih di ruang UGD terbaring tak sadar.

Dokter dan perawat masih sibuk memberikan pertolongan. Infonya kondisinya sudah berat. Pihak RS menunggu keluarga korban.

Aku sudah akan pulang, kembali ke kantor. Akan tetapi, korban yang tewas ‘cuma’ satu. Bisa jadi beritanya nanti hanya dijadikan kilas oleh redaktur atau tidak dimuat sama sekali.

Jadi bagaimana? Aku putuskan menunggu saja. Firasatku mengatakan pelajar itu tak akan bertahan lama.

Hampir satu jam menunggu, keluarga korban datang. Ayah pelajar itu masuk ke ruangan. Saat ayahnya berada di dekatnya, pelajar itu tiba-tiba terbangun. Cuma sebentar, mulutnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu. Tak lama kemudian dia terkulai.

Jerit kesedihan menggema di seluruh ruangan UGD. Pelajar itu meninggal dunia.

Aku segera meninggalkan RS untuk membuat berita. Tapi hati jadi galau tak menentu. Di satu sisi aku mendapatkan berita bagus, dan lengkap. Di sisi lain menyesali mengapa menunggu dan menyaksikan langsung moment keluarga yang menyedihkan itu.

Jangan-jangan aku tadi berharap anak itu segera meninggal agar berita menjadi lebih lengkap dan bagus? Ah, alangkah berdosanya. Sampai bertahun-tahun aku masih belum bisa melupakan kejadian tragis di rumah sakit itu.

Tip Menentukan Nilai Berita:

Aktual

Penting

Tragis

Berdampak

Ketokohan

Luar Biasa

Humor

Konflik

Kemanusiaan.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement