Selasa 25 Aug 2020 14:03 WIB

Perayaan HUT RI di Awal Kemerdekaan: Catatan Panjat Pinang

Ada juga larangan melontarkan sindiran terhadap partai, golongan, dan perorangan.

Panjat pinang. Perayaan HUT RI di awal kemerdekaan,
Foto:

Meski ada perayaan besar-besaran, tak berarti tak ada yang berduka. Jika pada 2020 ini ada larangan merayakan hari kemerdekaan karena masih masa pandemi Covid-19, pada 1950 ada larangan pawai yang memunculkan tuntutan atau semboyan partai, golongan, atau perorangan. Termasuk di dalamnya larangan melontarkan sindiran atau anjuran destruktif terhadap partai, golongan, atau perorangan.

Larangan ini di tahun 1951 juga diberlakukan. Di tahun 1952 pun masih diberlakukan, apalagi suhu politik pada 1952 sedang memanas sejak Maret 1952 dengan puncaknya peristiwa 17 Oktober 1952: tentara mengarahkan tank ke Istana Merdeka. Larangan tak hanya diberlakukan di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain. Larangan dikeluarkan oleh Gubernur Militer di masing-masing daerah.

Maka, pada 1950, sejumlah ormas kiri pun memprotesnya. Ada Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Rukun Tani Indonesia, Front Nasional Pemuda (di dalamnya ada 14 organisasi kepemudaan), dan Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis). Larangan itu mereka anggap mengebiri demokrasi.

Karena baru menyelesaikan revolusi, konsolidasi sedang dilakukan. Itulah sebabnya, keluar larangan seperti itu. Lembaga parlemen masih sementara, hasil penggabungan DPRS RIS dan Senat RIS yang berkontribusi munculnya peristiwa 17 Oktober 1952. Selama 1945-1949 pun kabinet selalu berganti, termasuk ketika negara berubah bentuk menjadi RIS, kemudian berubah menjadi NKRI begitu Hindia Belanda mengalihkan pemerintahannya ke Papua setelah memberikan pengakuan resmi kemerdekaan Indonesia.

Setelah ada pengakuan itu, satu per satu penyerahan dilakukan. Di Sumatra Utara misalnya, Pangkalan Udara ke-11 dan Skuadron Penerbangan Militer ke-122 diserahkan ke Angkatan Udara RIS pada 18 April 1950. Bendera Belanda diturunkan, diganti dengan bendera merah putih melalui sebuah upacara.

"Turunkan benderanya," perintah Kapten Roukens. Perlahan-lahan tiga warna Belanda turun, semua yang hadir berada di depan tiang bendera dan mengambil sikap hormat. Bendera kemudian diserahkan kepada Kapten Roukens yang kemudian menyerahkannya kepada Kolonel W Leyder.

Dari pihak RIS ada Kolonel Sujono yang menyerahkan bendera kepada Letnan Muljono untuk dikibarkan menggantikan bendera Belanda. “Kami hanya mengenal satu moto, yaitu bekerja keras sebaik mungkin,’’ kata Letnan Muljono memberikan sambutan setelah pengibaran bendera merah putih. Kemudian ia mendoakan hal yang terbaik untuk kepergian Belanda.

Di Jakarta, serah terima juga terjadi di markas tentara di Merdeka Utara pada 25 Juli 1950 pagi. Bendera tiga warna yang berkibar di Mabes Umum di Merdeka Utara diturunkan, digantikan dengan bendera merah putih. Panglima Angkatan Bersenjata Belanda di Indonesia Jenderal Buurman van Vreeden membuka upacara, menyatakan markas besar dibubarkan. Setelah bendera Belanda diturunkan, giliran Kepala Staf TNI AD RIS Kolonel Nasution berpidato, mewakili Menteri Pertahanan Sri Hamengku Buwono IX yang masih di Yogyakarta.

Nasution mengucapkan selamat jalan kepala Buurman yang akan pulang ke Belanda malam harinya. Usai Nasution berpidato, bendera merah putih dikibarkan. TNI kemudian menjaga gedung yang menjadi kantor Nasution, kolonel yang pada 17 Oktober 1952 mengerahkan tank-tank di Lapangan Merdeka mengarah ke Istana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement