Selasa 25 Aug 2020 10:20 WIB

Tiktok dan Karyawan Gugat Pemerintahan Donald Trump

Tiktok dan salah satu karyawannya secara terpisah menggugat pemerintahan Trump

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Tiktok dan salah satu karyawannya secara terpisah menggugat pemerintahan Trump. Ilustrasi.
Foto: Pixabay
Tiktok dan salah satu karyawannya secara terpisah menggugat pemerintahan Trump. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Tiktok dan salah satu karyawannya secara terpisah menggugat pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Senin (24/8). Langkah ini diambil atas perintah eksekutif Trump yang melarang transaksi dengan aplikasi berbagi video berbentuk pendek yang populer.

"Kami tidak menganggap enteng menggugat pemerintah. Namun, dengan Perintah Eksekutif yang mengancam untuk melarang operasi AS kami ... kami tidak punya pilihan," kata Tiktok dalam pernyataan.

Baca Juga

Culver City, perusahan Tiktok yang berbasis di Kalifornia dan ByteDance Ltd, perusahaan induk di China menolak klaim Gedung Putih yang menyatakan aplikasi itu ancaman keamanan nasional. Pemerintahan Trump menyatakan mereka telah mengambil tindakan luar biasa untuk melindungi privasi dan keamanan data pengguna Tiktok di AS.

Tuntutan yang dilayangkan menggambarkan seruan Trump dalam perintah eksekutif 6 Agustus sebagai cara untuk melanjutkan dugaan kampanye retorika anti-China yang lebih luas. Hal ini terjadi menjelang pemilihan presiden AS pada 3 November.

Manajer program teknis di Tiktok, Patrick Ryan, juga menggugat pemerintahan Trump atas kekhawatiran bahwa dia dan 1.500 rekannya akan kehilangan pekerjaan bulan depan jika perintah Trump diberlakukan. Pengacara yang mewakili Ryan dalam gugatan di pengadilan federal San Francisco, Alex Urbelis, mengatakan perintah tersebut mengalami ketidakjelasan inkonstitusional dan mencabut proses hukum karyawan Tiktok.

"Ini bukanlah keputusan yang menjadi milik pemerintah," kata Ryan.

Tiktok dan ByteDance mencari peraturan permanen untuk menggagalkan Trump menegakkan perintah 6 Agustusnya. Mereka menuduh pemerintahan Trump melanggar hak konstitusional mereka untuk diproses dengan melarang perusahaan tanpa kesempatan untuk menanggapi tuduhan.

Perusahan aplikasi itu juga menuduh Trump tidak memiliki otoritas hukum yang tepat untuk mengeluarkan perintah tersebut. Mereka mengatakan presiden AS menyalahgunakan Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional yang memungkinkan presiden mengatur perdagangan internasional selama keadaan darurat nasional.

Gugatan yang diajukan di pengadilan federal Los Angeles menyebut Trump, Departemen Perdagangan, dan Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross sebagai tergugat. Tuntutan ini menyoroti perintah eksekutif berisikan larangan transaksi dengan aplikasi setelah 45 hari.

Trump mengeluarkan perintah eksekutif terpisah pada 14 Agustus yang memberi ByteDance 90 hari untuk melepaskan operasi Tiktok di AS. Dia pun meminta semua data yang dikumpulkan Tiktok di negara itu.

ByteDance telah mengakuisisi aplikasi video Musical.ly yang berbasis di Shanghai dengan nilai transaksi 1 miliar dolar AS pada 2017 dan meluncurkannya aplikasi tersebut dengan nama Tiktok pada tahun berikutnya. Data dari gugatan menyatakan aplikasi ini memiliki 92 juta pengguna bulanan di AS pada Juni dan 689 pengguna bulanan secara global pada Juli.

Pemerintahan Trump mengatakan warga AS harus berhati-hati dalam menggunakan Tiktok. Berdasarkan undang-undang yang diperkenalkan pada 2017 di bawah Presiden Xi Jinping, perusahaan Cina memiliki kewajiban untuk mendukung dan bekerja sama dalam pekerjaan intelijen nasional China.

Tapi Tiktok mengatakan perintah 6 Agustus tidak berakar pada masalah keamanan nasional yang sebenarnya atau didukung oleh keadaan darurat yang dinyatakan setahun sebelumnya. ByteDance juga telah dalam pembicaraan untuk menjual operasi Tiktok di Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru kepada perusahaan termasuk Microsoft Corp dan Oracle Corp.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement