Selasa 25 Aug 2020 09:28 WIB

Pakar: Konsep Ilmu Sosial Barat tak Relevan di Abad ke-21

Mahbubani menyebut peta kekuatan dunia bergeser dari Eropa dan Amerika menuju Asia.

Pakar ilmu sosial National University of Singapore, Prof Kishore Mahbubani.
Foto: UGM
Pakar ilmu sosial National University of Singapore, Prof Kishore Mahbubani.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pakar ilmu sosial National University of Singapore, Prof Kishore Mahbubani, menyebut bahwa keilmuan sosial yang didasarkan pada konsep serta norma Barat tidak lagi relevan pada era saat ini. Pada abad ke-21 yang ia sebut sebagai Abad Asia, ilmuwan sosial Asia harus memiliki cara pikir yang baru untuk dapat memahami zaman yang terus berubah secara cepat.

"Dunia telah berubah secara fundamental. Tapi masalahnya peta pikiran yang kita punya sebagian besar merupakan peta pikiran Barat dari abad ke-19 dan abad ke-20 yang tidak bisa membimbing kita di abad ke-21," ujarnya dalam Symposium on Social Science 2020: Rethinking the Social World in the 21st Century yang diselenggarakan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM secara daring, Senin (24/8) hingga Selasa (25/8).

Mahbubani, seorang peneliti yang telah menulis berbagai karya yang membawa perspektif Asia di kancah internasional, menyebut bahwa peta kekuatan dunia telah bergeser dari negara Eropa dan Amerika menuju Asia.

Cina, India, dan Jepang, saat ini telah menjadi negara yang unggul di bidang ekonomi, sementara Indonesia sendiri diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi yang besar dalam beberapa tahun mendatang.

"Indonesia akan mendapat keuntungan besar dari perubahan yang terjadi. Pada tahun 2030 Indonesia akan berada pada urutan ke-9 ekonomi terbesar dunia dan tahun 2050 Indonesia akan berada pada posisi keempat, bahkan lebih besar dari Jepang," paparnya.

Di tengah potensi tersebut, ia menyebut akan bahaya jika negara-negara Asia tetap bergantung pada pemikiran barat untuk memahami apa yang disebut sebagai Abad Asia ini. Ilmuwan bidang sosial, menurutnya, harus menantang ilmu sosial Barat secara fundamental karena perspektif saat ini masih didorong oleh nilai yang sudah tidak relevan bagi Asia.

"Kita di Asia harus masuk ke dalam pikiran kita dan melihat apa yang perlu kita ubah untuk memahami abad ke-21," ucapnya.

Symposium on Social Science tahun ini mengangkat isu perubahan yang dibawa teknologi informasi kepada masyarakat, yang tidak hanya mendefinisikan ulang cara individu berinteraksi satu dengan yang lain, tetapi juga mengubah natur kekuasaan di dalam masyarakat.

Di tengah perubahan ini, ilmu sosial menghadapi tantangan yang sangat serius, yang jika tidak direspon dengan menyesuaikan pemahaman akan dunia yang dihadapi, maka ilmu sosial akan dihadapkan pada masa depan yang suram.

"Di tengah pandemi yang tengah berlangsung, yang menjadi tantangan luar biasa, sangat krusial untuk membangkitkan semangat kritik ilmiah dan mencari solusi terhadap persoalan yang menjangkit masyarakat moden dan post-modern hari ini," kata Direktur PSSAT UGM, Prof Hermin Indah Wahyuni.

Dalam kesempatan yang sama Rektor UGM, Prof Panut Mulyono mengungkapkan bahwa ilmuwan sosial, dalam beragam disiplinnya, harus terus berupaya memahami, merefleksikan, memikirkan ulang, dan secara kritis menganalisis dunia sosial. Hal ini terutama menjadi relevan di tengah situasi pandemi global yang telah dan masih akan menghadirkan ketidakpastian di tegah masyarakat.

"Kehidupan di abad ke-21 telah dan akan terus diisi dengan situasi yang baru dan berbeda. Di dunia pasca pandemi, di mana kita akan eksis berdampingan dengan Covid-19, kita akan terus dipengaruhi oleh ketidakpastian pada skala lokal dan global," kata Rektor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement