Jumat 21 Aug 2020 20:51 WIB

Ibrahim AS tak Pernah Sembah Bulan, Bintang, dan Matahari

Nabi Ibrahim tidak pernah menyembah bintang, bulan, dan matahari.

Nabi Ibrahim tidak pernah menyembah bintang, bulan, dan matahari. Alam semesta (ilustrasi)
Foto: msmcgartland.pbworks.com
Nabi Ibrahim tidak pernah menyembah bintang, bulan, dan matahari. Alam semesta (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Sebagaimana dikisahkan dalam Alquran, Ibrahim AS telah melakukan pencarian siapa Tuhan sebenarnya. Saat menyaksikan bintang, Ibrahim mengira itulah tuhannya. 

Demikian pula saat melihat bulan pada malam hari dan matahari di siang hari, Ibrahim mengira itulah tuhannya. Namun, ketika pada waktu-waktu tertentu, bintang, bulan, dan matahari itu tenggelam, Ibrahim mengeluh dan mencari Tuhan yang menciptakan bintang, bulan, dan matahari, yakni Allah SWT. Dan, ia percaya, tidak ada tuhan selain Allah yang menciptakan langit dan bumi.

Baca Juga

Asumsi yang perlu diluruskan di sini adalah, sebagaimana beredar di kalangan awam bahkan intelektual, kisah Nabi Ibrahim mencari Tuhan. Asumsi ini menggambarkan bahwa Nabi Ibrahim beriman dengan cara berpikir terlebih dahulu; siapa yang berhak untuk dijadikan sebagai Tuhannya. Hal ini menyatakan bahwa ia pernah ateis (tidak bertuhan/kebingungan mencari Tuhan) atau musyrik karena mengikrarkan ketuhanan bintang, bulan, dan matahari.

Pada kenyataannya, sesungguhnya kisah Nabi Ibrahim bukanlah seperti asumsi yang beredar selama ini bahwa Nabi Ibrahim adalah Bapak Monoteisme pertama karena petualangannya mencari Tuhan. Oleh karena itu, laik untuk dicermati dan disimak arti QS Al-An'am ayat 75-80 sebagai berikut:   

وَكَذَٰلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ

“Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin.” (75) 

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَىٰ كَوْكَبًا ۖ قَالَ هَٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ

“Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, ''Inilah Tuhanku''. Maka, ketika bintang itu terbenam dia berkata, ''Aku tidak suka kepada yang terbenam.'' (76)

فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ

“Lalu, ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, ''Inilah Tuhanku.'' Tetapi, ketika bulan itu terbenam dia berkata, ''Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.'' (77)   

فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَٰذَا رَبِّي هَٰذَا أَكْبَرُ ۖ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ

“Kemudian ketika dia melihat matahari terbit dia berkata, ''Inilah Tuhanku, ini lebih besar. Tetapi, ketika matahari terbenam, dia berkata, ''Wahai kaumku! Sungguh aku berlepas diri apa yang kamu persekutukan.'' (78) 

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (79) 

وَحَاجَّهُ قَوْمُهُ ۚ قَالَ أَتُحَاجُّونِّي فِي اللَّهِ وَقَدْ هَدَانِ ۚ وَلَا أَخَافُ مَا تُشْرِكُونَ بِهِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبِّي شَيْئًا ۗ وَسِعَ رَبِّي كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا ۗ أَفَلَا تَتَذَكَّرُونَ

“Dan kaumnya membantahnya. Dia (Ibrahim) berkata, ''Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada (malapetaka dari) apa yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?” (80) 

Pada terjemahan ayat Alquran tersebut di atas yang perlu digarisbawahi adalah kalimat ''Inilah Tuhanku (hadza Rabbi)''. Dari kalimat itulah bersumber kesalapahaman di tengah umat. Padahal, makna hadza rabbi (inilah Tuhanku) bukan bermakna ikhbar (pernyataan), tetapi bermakna istifham ingkari/istifham taubikhi (pertanyaan untuk mengingkari).

Jadi, makna kalimat ''inilah Tuhanku'' semestinya diartikan dan ditulis dengan ''inikah Tuhanku?''. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Imam Abu Hayyan al-Andalusi (W. 745 H/ 1345 M), ia berkata dalam tafsirnya An-Nahrul Mad: ''Perkataan Nabi Ibrahim, hadza rabbi, bukanlah pernyataan keyakinan bahwa bintang (zahrah/venus), bulan dan matahari adalah Tuhannya. Hal ini diibaratkan seperti ketika Anda melihat orang lemah yang tak mampu berdiri, lalu anda mengatakan hadza nashiri (inikah penolongku?)''. 

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement