Rabu 19 Aug 2020 23:23 WIB

Mengonsumsi Air Daur Ulang, Halalkah?

Air daur ulang adalah suci menyucikan jika diproses dengan ketentuan fikih.

Rep: Ferry Kisihandi/ Red: Muhammad Fakhruddin
Mengonsumsi Air Daur Ulang, Halalkah? (ilustrasi)
Foto: republika
Mengonsumsi Air Daur Ulang, Halalkah? (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kemajuan teknologi memung kin kan sejumlah hal terwujud, termasuk mendaur ulang air yang semula berasal dari limbah, bercampur dengan kotoran, benda najis, dan komponen lain yang mengubah air ter sebut. Penggunaan air daur ulang meningkat bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan serta menurunnya kualitas air.

Halalkah air daur ulang itu dikonsumsi? Majelis Ulama Indonesia menyampaikan penjelasan dengan fatwanya. Mereka mengatakan, air daur ulang adalah air hasil olahan atau rekayasa teknologi yang telah digunakan, terkena najis, atau yang sudah berubah salah satu sifatnya, yaitu rasa, warna, dan bau sehingga dapat dimanfaatkan lagi.

Air daur ulang, papar MUI, adalah suci menyucikan jika diproses dengan ketentuan fikih yang terdiri atas tiga hal. Pertama, Thariqat an-Nazh, yaitu dengan cara menguras air terkena najis atau telah berubah sifatnya sehingga yang tersisa tinggal air yang aman dari najis serta tidak berubah salah satu sifatnya.

Kedua, Thariqat al-Mukatsarah adalah dengan menambahkan air suci lagi menyucikan pada air terkena najis atau yang berubah hingga mencapai volume setidaknya dua kulah atau se kitar 270 liter. Unsur najis dan semua sifat yang menyebabkan air itu berubah menjadi hilang. Sedangkan yang ketiga adalah Thariqah Taghyir, yaitu dengan cara mengubah air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya dengan menggunakan alat bantu yang dapat mengembalikan sifat-sifat aslinya air itu menjadi suci lagi menyucikan dengan syarat volume air lebih dari dua kulah dan alat bantu yang digunakan mesti suci.

Menurut MUI, air daur ulang yang dimaksud dalam ketentuan di atas boleh digunakan untuk berwudhu, mandi, menyucikan najis, dan istinja serta halal diminum. Tak hanya itu, air jenis ini pun dapat dipakai untuk memasak dan kepentingan lainnya selama tidak membahayakan kesehatan. MUI menganggap agar pemerintah perlu memasukkan standar kehalalan air dalam penetapan ketentuan mengenai standar air bersih dan standar air minum serta standar kesehatan air.

Mereka merujuk pada hadis riwayat al-Hakim. Rasulullah pernah ditanya tentang air yang terkena binatang ternak serta binatang buas. “Apabila air telah mencapai dua kulah, tidak mengandung najis,’’ demikian sabda Rasul. Ia juga mengatakan, sesungguhnya air itu suci dan tidak ada yang menajiskannya. Kecuali, jelas beliau, sesuatu yang mengubah bau, rasa, dan warna air itu. Pandangan para ulama dalam tata cara penyucian air terkena najis pun dijadikan dasar. Seperti pandangan Imam al-Syirzi dalam Kitab al-Muhazzab dan Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughni.

Apabila hendak menyucikan air yang najis, harus dilihat dulu penyebabnya. Seandainya karena berubahnya sifat air dan jumlahnya lebih dari dua kulah, bisa disucikan dengan menghilangkan penyebab berubahnya air, baik bau, rasa, maupun warna air tersebut. Juga bisa dengan menambahkan air atau mengambil sebagiannya.

Ketika dimasukkan debu atau gamping ke dalam air yang najis, lalu hilang perubahannya, ada dua pendapat tentang hal ini. Imam Syafii mengungkapkan, dalam Kitab al-Um bahwa yang seperti itu tidak suci. Sama halnya dengan kasus menyucikan air dengan memberi kapur atau minyak wangi.

Pendapat lainnya yang tercantum dalam Kitab al- Harmalah, hal itu bisa menyucikannya. Sikap ini yang lebih karena perubahan air telah hilang sehingga air itu seperti sedia kala. Di samping itu, bila air najis itu jumlahnya sedikit, bisa disucikan dengan menambahkan air ke dalamnya hingga dua kulah. 

 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Jumat, 03 Juni 2011 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement