Selasa 18 Aug 2020 23:33 WIB

Merdekakan Petani Sawit Rakyat, Ini Saran untuk Pemerintah

Pemerintah diminta melakukan sejumlah langkah untuk selamatkan petani sawit rakyat.

Pemerintah diminta melakukan sejumlah langkah untuk selamatkan petani sawit rakyat. Pekerja memanen tandan buah segar kelapa sawit.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pemerintah diminta melakukan sejumlah langkah untuk selamatkan petani sawit rakyat. Pekerja memanen tandan buah segar kelapa sawit. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Menjawab problematika petani sawit Indonesia sepertinya ironi dengan amanah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang memerintahkan penguasaan kekayaan alam, khususnya hutan, diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat.

Direktur HICON Law & Policy Strategies, Hifdzil menjelaskan, berbagai masalah petani sawit yang sampai saat ini tidak sesuai dengan amanah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diantaranya masalah legalitas lahan, konflik tenurial, ketidakpastian harga tandan buah segar. 

Baca Juga

Kata Hifdzil, salah satu yang paling mencolok adalah marginalisasi tata kepengurusan lahan sawit rakyat dalam kawasan hutan. "Lahan berhutan yang dikuasai negara ini harus dimanfaatkan untuk menciptakan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia, termasuk petani sawit yang menggantungkan hidupnya pada hutan," kata Hifdzil di Jakarta, Selasa (18/8).

Menurut Hifdzil, jika menelisik dari hulu hingga ke hilir, Indonesia tidak kekurangan instrumen hukum untuk menyelesaikan masalah sawit rakyat dalam kawasan hutan.   

Dijelaskan Hifdzil, beberapa regulasi itu dimulai dari peraturan induknya, yaitu UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.  

Tetapi regulasi ini, menurut dia, menjadi alat pemerintah untuk menyelesaikan masalah sawit rakyat dalam kawasan hutan yang berorientasi pada penjatuhan sanksi bagi siapa saja yang melakukan perusakan hutan. Sementara masalah historis-kultural tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan struktural.  

Di sisi yang lain, pemerintah juga menerbitkan regulasi yang lebih soft, yakni Perpres 88/2017 tentang Penyelesian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.  

Perpres ini menawarkan penyelesaian masalah keberadaan lahan dalam kawasan hutan berupa: mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan (pelepasan kawasan hutan), tukar menukar kawasan hutan, memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial, atau melakukan resettlement.   

Meski demikian, tawaran Perpres 88/2017 yang menjadi antitesis dari UU 18/2013 dan mencoba responsif kepada petani sawit, ternyata memerlukan syarat primer agar lahan sawit yang dimiliki rakyat bisa diatasi  Perpres ini. “Syarat tersebut adalah sawit harus masuk dalam definisi “lahan garapan”, nyatanya tidak,” kata dia. 

Dalam penilaian Hifdzil, seharusnya lahan tersebut harus masuk dalam definisi “lahan garapan”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c Perpres 88/2017.  Sayangnya, Perpres ini tidak memasukkan lahan sawit sebagai lahan yang masuk dalam kriteria lahan garapan. 

Sebab, lahan garapan yang dimaksud adalah bidang tanah di dalam kawasan hutan yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang dapat berupa sawah, ladang, kebun campuran, dan/atau tambak (Pasal 5 ayat (4) Perpres 88/2017).  

Lebih lanjut dalam analisa pengajar hukum tata negara UIN Sunan Kalijaga ini, sikap pemerintah melalui KLHK yang telah menerbitkan regulasi berupa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial (PermenLHK P.83/2016) kurang menjawab persoalan yang dihadapi petani sawit.   

Padahal, menurut dia, peraturan ini dianggap sebagai jalan tengah penyelesaian sawit dalam kawasan hutan dengan memberikan akses legal kepada masyarakat berupa pengelolaan hutan negara. Salah satunya dengan mengklasifikasikan hutan tersebut sebagai Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan, dan Hutan Adat (Pasal 4 PermenLHK P.83/2016). 

"Original intent dari PermenLHK P.83 yang bertujuan mencapai kesejahteraan masyarakat dengan mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pengelolaan serta pemanfaatan kawasan hutan, justru secara terang-terangan melarang sawit. Larangan ini tertuang dalam Pasal 56 ayat (5) yang intinya melarang pemegang izin perhutanan sosial menanam kelapa sawit di areal hak atau izinnya," kata eks wakil direktur Pukat UGM ini.    

“Memang PermenLHK P.83 memberikan toleransi atas sawit dalam areal hak perhutanan sosial, tetapi batas toleransi itu diberikan ketika sawit sedang dalam masa produktif, 12 tahun”. Demikian imbuhnya.

Terkait dengan silang sengkarut persoalan sawit, Hifdzil mendesak Mahkamah Agung memberikan fatwa terhadap frasa “lahan garapan” dalam Perpres 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasan Tanah dalam Kawasan Hutan dengan memasukkan lahan sawit sebagai bagian dari lahan garapan. untuk menjaga kepastian hukum.  

"Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain) untuk memberikan fatwa terhadap frasa “lahan garapan” dalam Perpres 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasan Tanah dalam Kawasan Hutan, sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 37 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung," kata dia. 

DPR juga didesak untuk melakukan pengawasan terhadap langkah penyelesaian lahan sawit rakyat dalam kawasan hutan. Selain mendesak DPR untuk mengawasi masalah sawit rakyat, Hifdzil juga mendesak pemerintah untuk membuat dan mengembangkan mekanisme penyelesian sawit rakyat dalam kawasan hutan yang bernuansa afirmatif. 

"Pemerintah untuk membuat dan mengembangkan mekanisme penyelesian sawit rakyat dalam kawasan hutan yang bernuansa afirmatif, seperti agroforestry/perhutanan sosial dan/atau reforma agraria/redistribusi lahan garapan," ujar dia.  

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement