Selasa 18 Aug 2020 23:28 WIB

Redaksi Surat Balfour, Gerbang Terjajahnya Tanah Palestina

Deklarasi Balfour menjadi pintu gerbang terjajahnya tanah Palestina.

Rep: Yeyen Rostiani/ Red: Nashih Nashrullah
Deklarasi Balfour menjadi pintu gerbang terjajahnya tanah Palestina. Pemukiman Yahudi di Yerusalem Timur/ Ilustrasi.
Foto: AP/Mahmoud Illean
Deklarasi Balfour menjadi pintu gerbang terjajahnya tanah Palestina. Pemukiman Yahudi di Yerusalem Timur/ Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, Pada 2 November 1917, Kabinet Perang Inggris mengizinkan Balfour memberikan surat simpati pada tujuan zionisme. Surat yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour ini menyebutkan, ''His Majesty's Government views with favour the establishment in Palestine of a national home for Jewish People, and will use their best endeavours to facilitate the achievement of this object, it being clearly understood that nothing shall be done which may prejudice the civil and religious rights of existing non Jewish communitie in Palestine, or the rights and political status enjoyed by Jews in any other country.''

Terjemahan surat itu kurang lebih berbunyi, ''Pemerintahan Yang Mulia bersimpati bagi berdirinya sebuah national home di Palestina bagi bangsa Yahudi dan akan mengerahkan daya upaya untuk mendukung tercapainya tujuan ini, juga jelas dipahami bahwa tidak boleh ada tindakan yang dapat menimbulkan prasangka mengenai hak sipil dan religius bagi masyarakat non-Yahudi yang berada di Palestina ataupun hak dan status politik yang sudah dimiliki kaum Yahudi di negara lain.''

Baca Juga

Di hadapan Kabinet Perang, Balfour berdalih bahwa dukungan ini akan membantu propaganda di Rusia dan Amerika Serikat agar kedua negara itu mendukung Inggris untuk memenangkan Perang Dunia I. Ramalan ini cukup jitu, terutama lobi kaum Zionis di Amerika Serikat amat kuat.

Namun, pada 1919, dukungan pada zionisme di Inggris makin melemah. Banyak pendukung zionisme menyadari bahwa tujuan zionisme adalah mendirikan negara di atas Palestina. Sebutan national home dalam Deklarasi Balfour diterjemahkan menjadi state atau negara. Imigrasi kaum Yahudi ke tanah Palestina pun terus dimobilisasi. 

Naiknya Adolf Hitler menjadi kanselir Jerman pada 1933 meningkatkan imigrasi kaum Yahudi Jerman ke Palestina. Sementara, lobi Zionis terhadap Pemerintah AS semakin ditingkatkan, misalnya, electoral punishment yang mengancam akan menarik dukungan mereka pada pemilu. 

Kemenangan kaum Zionis memang di atas angin. Hal ini, tulis Ritchie Ovendale dalam jurnal akademis Historian pada 2002, karena Zionis didukung mesin propaganda serta akses pada media yang mudah bagi mereka. Bandingkan dengan bangsa Arab yang tak memiliki jalur informasi untuk menyuarakan aspirasi mereka. Kelebihan lainnya adalah dengan menggunakan Holocaust untuk mendulang simpati.

Setelah menyerahkan mandat Palestina kepada PBB, pada 1947 Majelis Umum PBB pun melakukan voting pemecahan wilayah Palestina. Zionisme meraih kemenangan lewat Resolusi 181 yang dikenal dengan Partition Plan. Tanah Palestina pun terbagi menjadi tiga: wilayah Arab, wilayah Yahudi, dan status Yerusalem di bawah pengawasan internasional.

Partition Plan mendorong kaum Zionis mendeklarasikan berdirinya negara Israel pada 14 Mei 1948. Namun, bagi bangsa Arab, Palestina adalah tanah air mereka sehingga mereka menolak Resolusi nomor 181. Hingga kini, terlepas dari pengakuan politik dari negara lain, kedudukan Palestina dan Israel tetap tak setara. Itu mengingat secara hukum, status Palestina hingga kini bukan sebuah negara.

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement