Selasa 18 Aug 2020 13:05 WIB

Mahfud: Islam Wasathiyah Paling Cocok di Indonesia

Di Indonesia, Mahfud MD menybut yang cocok adalah Islam Wasathiyah.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Muhammad Hafil
Mahfud: Islam Wasathiyah Paling Cocok di Indonesia. Foto: Menko Polhukam, Mahfud MD, mengenakan baju tradisional Madura saat memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-75.
Foto: Kemenko Polhukam.
Mahfud: Islam Wasathiyah Paling Cocok di Indonesia. Foto: Menko Polhukam, Mahfud MD, mengenakan baju tradisional Madura saat memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-75.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengungkapkan, Islam Wasathiyah paling cocok diterapkan di Indonesia. Menurut dia, Islam Wasathiyah merupalan Islam yang tidak condong terlalu ke kanan ataupun sebaliknya, terlalu ke kiri.

"Islam jalan tengah. Yang tidak ekstrim ke kanan dan ke kiri. Ya inilah yang cocok bagi bangsa Indonesia," ujar Mahfud saat memberi sambutan pada peluncuran buku Fikih Kebangsaan Jilid III secara virtual yang disiarkan langsung dari Ponpes Lirboyo, Senin (17/8).

Baca Juga

Islam Wasathiyah, kata Mahfud, paling cocok diterapkan di Indonesia. Sebab, sejak berdirinya Republik Indonesia, jalan tengah ini telah dirumuskan tokoh Islam yang tergabung dalam BPUPKI. Mereka menisbikan Islam di Indonesia adalah moderat, karena itu tidak memaksakan untuk mendirikan negara Islam.

Di luar itu, Mahfud menjelaskan, Islam dari waktu ke waktu mengalami kemajuan. Menurut dia, sebelum merdeka dan satu dasawarsa setelah merdeka, orang Islam masih disudutkan. Tidak banyak diberi peran. Namun, lambat laun, Islam mulai mendapat tempat. Hingga kini, pemeluknya bebas mendapat hak yang setara dan bahkan menempati berbagai posisi penting di republik ini.

"Awal kemerdekaan, mau jadi tentara nggak boleh. Tapi sekarang, semua berubah. Makanya salah kalau orang menyebut ada islamophobia. Pak Tito (Mendagri) ngajinya pinter. Jadi imam kelasnya bukan Qulhu. Surat panjang, beliau fasih. Tapi bisa jadi Kapolri, bisa jadi menteri," tutur dia.

Mahfud juga mengatakan, perkembangan Islam juga maju pesat. Tak ada larangan kegiatan keagamaan. Di kabinet, kantor kementerian, BUMN, dan kantor pemerintahan banyak musholla dan acara kajian keagamaan yang tumbuh subur dan gampang ditemui.

"Di kampus-kampus, Islam sudah terang-terangan. Dulu sampai akhir 70-80 malu-malu. Pakai jilbab jarang. Sekarang semua pakai jilbab. Tidak ada sekali lagi islamplophobia saat ini. Kalau ada yang bilang, itu pihak yang kalah saja. Karena yang diserang mereka juga memperjuangkan Islam," ungkap Mahfud.

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, pada kesempatan yang sama membeberkan perkembangan geopolitik dunia yang berubah sejak tahun 2000-an. Peristiwa dan aksi terorisme mengatasnamakan agama mulai muncul sejak aksi 11 September 2001.

Mantan Kapolri itu menilai, itulah yang mengubah geopolitik dunia. Amerika belum pernah diserang di jantungnya. Amerika membuat global war on terror. Indonesia pun beruntun dikejutkan peristiwa Bom Bali. Disusul berbagai peristiwa teror berikutnya.

Ternyata, kata dia, ada perbedaan dalam akidah Islam. Hampir semua pelaku teror mengatakan sedang berjihad. Padahal, ini pemahaman yang keliru. "Konsep jihad bagi mereka adalah jihad peperangan, qital, bahkan hukumnya wajib ain, bukan fardlu khifayah. Jihad ini bahkan seperti rukun Islam keenam. Bagi mereka, harus dilaksanakan," tutur dia.

Dengan begitu, Tito menilai harus ada perang narasi untuk mengatasi hal tersebut. Perang narasi untuk mengubah dan meluruskan narasi jihad yang salah selama ini. Moderasi narasi atau counter narasi juga harus disertai ayat-ayat Al Quran dan hadist.

"Buku Fikih Kebangsaan ini, ini sangat penting menjadi counter narasi untuk seluruh pihak. Buku ini, saya baca, saya lega. Ini yang ketiga dari Lirboyo. NU memang benteng NKRI, salah satu pendiri NKRI," jelas dia.

Rais Syuriah PCINU Australia dan Selandia Baru, K.H Nadirsyah Hosen, menilai, buku Fiqih Kebangsaan III sangatlah penting. Buku itu dapat mengisi ruang kosong dalam fikih siyasah dan tema-tema khilafah.

"Buku ini khas manhaj pesantren. Metodologi ini sangat kokoh dan solid. Ini luar biasa, mestinya dikaji dan dibaca juga oleh kelompok di luar pesantren dan kalangan NU. Harus dicetak, dimasukkan kurikilum baik pesantren maupun sekolah umum. Insyaallah bermanfaat," tandasnya.

Serupa, Gus Mus pun sangat bergembira. Gus Mus mengusulkan tiga edisi buku ini dijadikan satu dan disebarluaskan tidak hanya untuk kalangan pesantren nahdliyin saja.

Sebagai catatan, Gus Mus menambahkan pemahaman jihad yang kurang dalam buku ini. Perlu ditambah pemahaman jihad melawan kebodohan. Sebab, sekarang ini, selain korupsi dan pandemi, yang paling harus dilakukan adalah jihad melawan kebodohan untuk menghilangkan kebodohan dan yang tak mau belajar yang tengah menyeruak sekarang ini.

"Banyak yang nggak ngerti tentang agama, bicara soal agama. Ini amat gawat. Padahal ini soal ruh. Bikin celaka banyak orang. Ini harus diluruskan, salah satunya dengan buku ini," ujar Gus Mus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement