Rabu 12 Aug 2020 20:56 WIB

Badan HAM: Banyak Pembantaian Rohingya 2017 tak Dilaporkan

Militer Myanmar disebut tak melaporkan kasus pembantaian Rohingya secara utuh

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
 Wartawan berjalan di dekat rumah-rumah yang terbakar di desa Gawdu Thara di kota Maungdaw, Negara Bagian Rakhine, Myanmar barat. Militer Myanmar disebut tak melaporkan kasus pembantaian Rohingya secara utuh. Ilustrasi.
Foto: EPA-EFE/Nyein Chan Naing
Wartawan berjalan di dekat rumah-rumah yang terbakar di desa Gawdu Thara di kota Maungdaw, Negara Bagian Rakhine, Myanmar barat. Militer Myanmar disebut tak melaporkan kasus pembantaian Rohingya secara utuh. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA - Badan Hak Asasi Manusia (HAM) Rohingya tidak setuju dengan laporan pemerintah Myanmar soal pembantaian Muslim Rohingya pada 2017. Menurut Badan HAM, banyak kasus-kasus yang tidak dilaporkan atau tidak diungkapkan oleh militer Myanmar yang membuat Muslim Rohingya menderita.

Militer Myanmar baru-baru ini merilis laporan tentang pembantaian di desa Gu Dar Pyin, negara bagian Rakhine yang merupakan rumah bagi ratusan ribu Muslim Rohingya di Myanmar. Militer Myanmar mengatakan hanya telah membunuh 19  teroris dalam operasi 2017 tersebut. Padahal menurut penelitian badan HAM, ratusan warga sipil tewas dalam pembantaian Agustus 2017 lalu.

Baca Juga

Arakan Rohingya Society untuk Perdamaian dan Hak Asasi Manusia mengklaim operasi itu berakhir dengan pembunuhan hampir 250 warga sipil. Badan pengawas HAM mengatakan pihaknya telah memantau, mengumpulkan data, dan menyelidiki dari sumber langsung keluarga korban dan penyintas Rohingya di kamp pengungsi Cox's Bazar di Bangladesh.

"Jumlah sebenarnya dari kematian warga sipil mencapai 243 dan jumlah yang terluka adalah 18," ujar badan tersebut dilansir laman Anadolu Agency, Rabu.

Pernyataan tersebut muncul beberapa hari setelah militer Myanmar dan komisi penyelidikan yang disetujui pemerintah Myanmar menyatakan bahwa total 19 orang terbunuh, yang mereka sebut "teroris" dalam tindakan keras pada 27-28 Agustus 2017. Insiden itu memicu insiden lainnya yang membunuh ribuan orang Rohingya dan memaksa hampir satu juta orang untuk meninggalkan tanah air mereka dan berlindung di negara tetangga Bangladesh.

"Laporan investigasi oleh pemerintah Myanmar dan militer negara itu sangat tidak terbukti dan tidak terlapor," ujar badan hak asasi manusia itu.

Menyusul tindakan brutal, Myanmar menghadapi dakwaan genosida di beberapa pengadilan internasional karena badan pencari fakta PBB menyebutnya sebagai contoh buku teks tentang pembersihan etnis dan genosida yang berlangsung lambat. Dalam laporan Juli 2020, Human Rights Watch juga mengatakan tindakan keras besar-besaran di desa Rakhine.

Di sana, ratusan tentara dan polisi bersenjata berat mengambil bagian dalam menewaskan sekitar 300 hingga 400 warga sipil Rohingya. "Tentara menculik wanita dan gadis dari desa dan memperkosa mereka di kompleks militer terdekat. Tentara menumpuk mayat di setidaknya lima kuburan massal sebelum membakar wajah mereka dengan asam," ujar pengawas hak asasi global itu mengutip Laporan Misi Pencari Fakta PBB.

Namun pemerintah dan militer Myanmar membantah laporan tersebut dan mengklaim bahwa pasukan keamanan menanggapi serangan oleh Arakan Rohingya Salvation Army atau kelompok bersenjata etnis Rohingya dan penduduk desa setempat. Militer mengklaim bahwa 19 teroris Rohingya tewas dan mayat mereka dikuburkan dengan hati-hati.

Pengadilan militer di Myanmar pada 30 Juni memvonis tiga personel militer, termasuk dua perwira dan seorang tentara atas insiden Gu Dar Pyin. Badan hak-hak Rohingya juga menolak pengadilan militer. Mereka menyebut laporan Myanmar tentang pembantaian Rohingya sebagai sesuatu yang mencolok dan tidak transparan. Badan HAM juga meminta Mahkamah Pidana Internasional dan Pengadilan Internasional untuk melihat bahwa kekurangan dalam keadilan dan akuntabilitas ini dapat ditangani.

Mereka juga menyerukan pengungkapan detail yang lengkap dan transparan terkait dengan tindakan hukum yang diambil oleh militer Myanmar terhadap personel militer yang didakwa. Kelompok Rohingya mengatakan mereka telah melakukan pengumpulan data rinci atas insiden tersebut dan siap untuk mengungkapkan rincian mengenai metodologi pengumpulan data. Mereka bersedia bekerja sama dengan proses verifikasi apa pun.

Menurut Amnesty International lebih dari 750 ribu pengungsi Rohingya, kebanyakan wanita dan anak-anak, melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017. Tragedi itu mendorong jumlah orang yang dianiaya di Bangladesh melebihi 1,2 juta.

sumber : https://www.aa.com.tr/en/asia-pacific/myanmar-underreported-2017-rohingya-killing-watchdog/1938803
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement