Rabu 12 Aug 2020 15:37 WIB

Dulu Kabulkan Gugatan Kenaikan Iuran BPJS, Kini MA Menolak

MA menolak uji materi KPCDI atas Perpres kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Petugas keamanan berjaga di depan kantor BPJS Kesehatan di Bekasi, Jawa Barat. Pemerintah sejak 1 Juli 2020 menaikkan iuran BPJS Kesehatan seperti ditetapkan dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dengan rincian peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp150.000, kelas II menjadi Rp100.000 dan kelas III menjadi 42.000. (ilustrasi)
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Petugas keamanan berjaga di depan kantor BPJS Kesehatan di Bekasi, Jawa Barat. Pemerintah sejak 1 Juli 2020 menaikkan iuran BPJS Kesehatan seperti ditetapkan dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dengan rincian peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp150.000, kelas II menjadi Rp100.000 dan kelas III menjadi 42.000. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Ali Mansur

Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan uji materi Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Berdasarkan putusan ini, kenaikan iuran BPJS yang berlaku mulai Juli 2020 tetap berlaku.

Baca Juga

Dikutip dari laman MA di Jakarta, Senin (10/8), uji materi yang diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) itu diputus pada 6 Agustus 2020 oleh Hakim Agung Supandi, Yodi Martono Wahyunadi, dan Is Sudaryono. Gugatan ini adalah yang kedua yang pernah diajukan oleh KPCDI.

Sebelumnya, MA pernah mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan KPCDI dan membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diatur Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Namun, Presiden kemudian mengeluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang secara substansi mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan lagi.

Pemerintah menetapkan kenaikan iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan secara bertahap pada bulan Juli 2020, kemudian pada bulan Januari 2021, sementara peningkatan tarif peserta mandiri dengan manfaat perawatan kelas III disubsidi oleh Pemerintah.

Berdasarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020, Pemerintah menetapkan iuran peserta mandiri kelas III sebesar Rp42 ribu mulai Juli 2020. Namun, peserta cukup membayarkan iuran sebesar Rp25.500,00 karena sisanya sebesar Rp16.500,00 disubsidi oleh pemerintah pusat, sesuai dengan Pasal 34 Ayat (1) Perpres.

Pada hari ini, pihak MA menerangkan alasan menolak gugatan KPCDI atas dasar MA menilai besaran iuran yang ditetapkan secara berkala dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 sesuai perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat.

"Alasan MA menolak permohonan tersebut, antara lain bahwa besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak," ujar Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro melalui pesan singkat, Rabu (12/8).

MA juga memandang penetapan besarnya iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 telah memperhatikan mandat yang ditentukan dalam Pasal 17 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Untuk itu, perpres tersebut dinilai tidak bertentangan dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan UU Kesehatan.

"Lagi pula Pasal 48 UU Nomor 40 Tahun 2004 memberi kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan BPJS," tutur Andi Samsan Nganro.

Ketua Umum KPCDI Tony Samosir menyayangkan putusan MA yang menolak uji materi Perpres 64 Tahun 2020. Menurutnya, putusan itu menutup pintu KPCDI untuk mengajukan kembali uji materi atas kebijakan menaikan iuran BPJS Kesehatan yang memberatkan masyarakat kurang mampu.

"Kami sebagai pasien cuci darah, terutama yang kurang mampu tetapi tidak masuk dalam kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI), tentu akan merasakan dampaknya. Apalagi, Perpres 64 Tahun 2020 juga menaikkan denda keterlambatan membayar menjadi 5 persen,” ujar Tony dalam keterangannya, Rabu (12/8).

Apalagi, lanjut Tony di tengah pandemi Covid-19 dan menurunnya daya beli masyarakat, putusan MA tersebut tentu sangat mengecewakan. Apabila gagal bayar iuran BPJS Kesehatan, berakibat kartu BPJS Kesehatan tidak aktif. Sementara, pasien harus bayar sendiri proses cuci darahnya dan pengobatan lainnya.

Tony menambahkan, kalau orang sehat tidak punya uang bayar iuran, mereka tidak memiliki risiko apa pun di kesehatannya. Berbda dengan pasien kronis atau pasien gagal ginjal yang kurang mampu, mereka akan menghentikan terapi tersebut.

"Fakta sudah membuktikan, dua kali atau lebih pasien tidak cuci darah nyawanya melayang," cetusnya.

Dengan ditolaknya gugatan uji materi tersebut, maka KPCDI akan melakukan berbagai langkah lainnya. Pihaknya akan menagih janji Komisi IX DPR RI sesuai kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada awal Desember tahun lalu yang menjanjikan akan mendesak Kementerian Sosial untuk memasukkan pasien cuci darah dalam kategori PBI, karena pasien dianggap sudah tidak produktif dan rentan PHK karena sakit.

“Kami juga menyerukan peningkatan kualitas pelayanan BPJS Kesehatan. Sudah tidak ada lagi cerita obat-obatan dan pemeriksaan laboratorium yang tidak dijamin bahkan dikurangi pelayanannya. BPJS harus segera berbenah diri," tutupnya.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyatakan tidak menarik keuntungan atau laba dengan adanya kenaikan iuran JKN-KIS.

"Sebagai badan hukum publik, BPJS Kesehatan menganut prinsip nirlaba. Artinya, pengelolaan Program JKN-KIS oleh BPJS Kesehatan mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta," kata Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf dalam keterangan, Jumat pekan lalu.

Iqbal menuturkan Sistem Jaminan Sosial Kesehatan (SJSN) yang menjadi dasar BPJS Kesehatan dalam menjalankan Program JKN-KIS berpegang pada prinsip nirlaba. Iqbal mengatakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Pasal 40, BPJS Kesehatan mengelola dua jenis aset, yaitu aset Dana Jaminan Sosial (DJS) dan aset BPJS. BPJS Kesehatan wajib memisahkan aset DJS dan aset BPJS.

"Aset DJS merupakan dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS Kesehatan untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial," tutur Iqbal.

photo
BPJS Kesehatan tekor - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement