Selasa 11 Aug 2020 12:52 WIB

Laporan: Presiden dan PM Lebanon Sudah Tahu Ancaman Ledakan

Dalam laporan yang disampaikan, ledakan amonium nitrat bisa menghancurkan Beirut.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
 Seorang tentara berjalan di lokasi ledakan yang hancur di pelabuhan Beirut, Lebanon, Kamis 6 Agustus 2020.
Foto: AP / Thibault Camus
Seorang tentara berjalan di lokasi ledakan yang hancur di pelabuhan Beirut, Lebanon, Kamis 6 Agustus 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Dua ledakan mengguncang pelabuhan Beirut pada Selasa pekan lalu setelah tumpukan 2.750 ton amonium nitrat yang disimpan di gudang terbakar. Amonium nitrat merupakan bahan kimia yang kerap digunakan untuk membuat bom dan biasa dipakai dalam pembuatan pupuk. Terorisme telah dikesampingkan sebagai kemungkinan penyebab ledakan.

Ledakan itu mengguncang Beirut hingga ke intinya. Getaran mencapai 3,5 skala Richter dan menghancurkan bangunan bermil-mil jauhnya. Namun sebuah laporan menyebut bahwa pemerintah sudah diberi informasi soal bahayanya bahan-bahan itu.

Baca Juga

Terdapat sebuah laporan oleh Direktorat Jenderal Keamanan Negara tentang peristiwa yang mengarah ke potensi ledakan. Jika amonium itu meledak, maka bisa menghancurkan kota. 

Laporan itu telah disampaikan kepada Presiden Michel Aoun dan Perdana Menteri Hassan Diab pada 20 Juli. Meskipun isi surat itu tidak ada dalam laporan yang dilihat oleh Reuters, seorang pejabat senior keamanan mengatakan bahwa laporan itu meringkas temuan penyelidikan yudisial yang diluncurkan pada Januari dan menyimpulkan bahan kimia perlu diamankan segera.

Laporan keamanan negara, yang mengonfirmasi korespondensi dengan presiden dan perdana menteri, sebelumnya belum dilaporkan. "Ada bahaya bahwa bahan ini, jika dicuri, dapat digunakan dalam serangan teroris," kata pejabat itu.

Pejabat itu mengatakan di akhir penyelidikan, Jaksa Agung (Ghassan) Oweidat menyiapkan laporan akhir ke pihak berwenang, mengacu pada surat yang dikirim ke perdana menteri dan presiden oleh Direktorat Jenderal Keamanan Negara soal pengawasan keamanan pelabuhan.

"Saya memperingatkan mereka bahwa ini bisa menghancurkan Beirut jika meledak," kata pejabat itu, yang terlibat dalam penulisan surat itu dan menolak disebutkan namanya. Namun Reuters tidak dapat secara independen mengkonfirmasi deskripsi surat itu.

Jauh sebelum tragedi ini, Lebanon sudah terlibat dalam krisis yang bersumber dari masalah ekonomi dan korupsi. Pengunjuk rasa anti-pemerintah telah turun ke jalan selama dua malam terakhir, menyerbu gedung-gedung resmi dan bentrok dengan polisi.

Kabinet Lebanon, Senin (10/8), menghadapi tekanan makin kuat dari massa yang meminta mereka mundur. Unjuk rasa juga masih terus bakal digelar oleh massa yang marah setelah insiden ledakan di Pelabuhan Beirut pada 4 Agustus.

Pada Senin, Menteri Kehakiman Marie-Claude Najm dan Menteri Keuangan Ghazi Wazni mengundurkan diri. Sebelumnya, menteri informasi dan menteri lingkungan hidup juga sudah mengundurkan diri pada Ahad (9/8).

Wazni adalah sosok penting di balik perundingan Lebanon dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam upaya mendorong Lebanon keluar dari krisis ekonomi. Hari ini, Perdana Menteri Lebanon juga ikut mundur.

Muncul spekulasi bahwa seluruh anggota kabinet akan mengundurkan diri. Jika total tujuh orang dari kabinet beranggota 20 menteri mengundurkan diri, kabinet secara efektif akan menjadi pemerintah sementara.

Korban meninggal

Sementara itu korban meninggal dunia akibat ledakan di pelabuhan Beirut pekan lalu meningkat menjadi 163 jiwa, Senin (10/8) waktu setempat. Tentara Lebanon menemukan lima jenazah di puing-puing pascaledakan.

"Tim penyelamat tentara Lebanon bekerja sama dengan unit pertahanan sipil, petugas pemadam kebakaran, dan tim pencari Rusia dan Prancis berhasil menemukan lima mayat lagi dari korban ledakan pelabuhan Beirut," kata militer dalam sebuah pernyataan dikutip laman Anadolu Agency, Selasa (11/8).

Pencarian orang hilang masih  berlangsung dan pihak berwenang terus berusaha untuk memastikan pencarian korban. Sementara korban luka akibat ledakan pekan lalu mencapai lebih dari 6.000 orang, serta menghancurkan sekitar 6.000 bangunan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement