Selasa 11 Aug 2020 09:36 WIB

Pengunduran Diri PM Lebanon dan Tuntutan Perubahan Rezim

Pengunduran diri PM Lebaon menjerumuskan politik Lebanon ke kekacauan lebih dalam.

Polisi pada Senin (10/8) mendorong mundur pengunjuk rasa anti-pemerintahan dalam aksi menyusul ledakan besar pekan lalu di Pelabuhan Beirut. Lebih dari 160 orang menjadi korban jiwa akibat ledakan Lebanon.
Foto: AP Photo/Hassan Ammar
Polisi pada Senin (10/8) mendorong mundur pengunjuk rasa anti-pemerintahan dalam aksi menyusul ledakan besar pekan lalu di Pelabuhan Beirut. Lebih dari 160 orang menjadi korban jiwa akibat ledakan Lebanon.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwina Agustin, Indira Rezkisari, Antara

Perdana menteri Lebanon, Hassan Diab, mengumumkan pengunduran dirinya. Menurutnya ledakan besar yang merobek Beirut dan menyebabkan kemarahan publik adalah hasil dari korupsi yang endemik.

Baca Juga

"Hari ini kami mengikuti keinginan orang-orang dalam tuntutan mereka untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas bencana yang telah bersembunyi selama tujuh tahun, dan keinginan mereka untuk perubahan nyata," kata Diab dalam pidato mengumumkan pengunduran diri.

Diab mengatakan korupsi tidak berhenti di pelabuhan Beirut tetapi menyebar ke seluruh lanskap politik dan administrasi negara di bawah perlindungan kelas yang mengendalikan nasib negara. Dia berusaha untuk menahan kemarahan akibat ledakan 4 Agustus lalu. Namun, banyak warga Lebanon yang tetap menyerukan perombakan total atas pemerintahan yang sedang berjalan.

Pengunduran diri itu menjerumuskan politik Lebanon lebih dalam ke kekacauan dan selanjutnya dapat menghambat pembicaraan yang sudah terhenti dengan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang rencana penyelamatan keuangan. Pembicaraan yang dilakukan pada Mei telah tertunda karena kelambanan reformasi dan perselisihan antara pemerintah, bank, dan politikus mengenai skala kerugian finansial yang besar.

Presiden Lebanon Michel Aoun menerima pengunduran diri pemerintahan Diab, tetapi ia meminta pihak tersebut untuk sementara ini menjadi pelaksana tugas sampai kabinet baru terbentuk, demikian isi pengumuman otoritas setempat sebagaimana disiarkan lewat televisi.

Presiden Lebanon, Michel Aoun, meminta pemerintah Diab yang dibentuk pada Januari dengan dukungan dari kelompok Hizbullah yang didukung Iran dan sekutunya untuk tetap sebagai juru kunci sampai kabinet baru terbentuk. Sedangkan Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Yves Le Drian, mendesak pembentukan pemerintahan baru dengan cepat, dengan harapan permintaan masyarakat untuk reformasi dan pemerintahan perlu didengarkan.

Sistem pemerintahan mengharuskan Aoun untuk berkonsultasi dengan blok parlemen tentang sosok yang harus menjadi perdana menteri berikutnya. Dia berkewajiban untuk menunjuk kandidat dengan tingkat dukungan terbesar di antara anggota parlemen.

Membentuk pemerintahan di tengah perpecahan faksi telah menjadi hal yang menakutkan di masa lalu. Sekarang dengan meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap elit penguasa atas ledakan tersebut dan krisis keuangan yang menghancurkan, mungkin sulit untuk menemukan kandidat yang bersedia menjadi perdana menteri.

Setelah mantan perdana menteri Saad Hariri mengundurkan diri pada Oktober 2019 di tengah protes anti-pemerintah atas dugaan korupsi, dibutuhkan waktu lebih dari dua bulan untuk membentuk pemerintahan Diab. Diab mengatakan  akan meminta pemilihan parlemen lebih awal pada akhir pekan ini, dilansir dari Reuters.

Ledakan yang disebabkan oleh lebih dari 2.750 ton amonium nitrat di gudang pelabuhan pada 4 Agustus menyebabkan 163 orang tewas dan lebih dari 6.000 warga luka-luka. Ledakan juga merusak sebagian besar bangunan di Beirut, ibu kota Lebanon.

Insiden itu memperburuk krisis ekonomi dan politik yang telah terjadi selama berbulan-bulan di Lebanon. Bagi banyak warga Lebanon, ledakan itu jadi peristiwa terakhir yang menyulut kesabaran rakyat, mengingat mereka menghadapi krisis yang disebabkan oleh terpuruknya sektor ekonomi, korupsi, dan tata kelola pemerintahan yang buruk. Rangkaian kekecewaan itu yang akhirnya mendorong warga turun ke jalan menuntut perubahan hingga ke akar.

"Seluruh rezim harus berubah. Tidak ada artinya ada pemerintahan baru (jika rezim tak berubah)," kata seorang insinyur asal Beirut, Joe Haddad. "Kami menuntut segera ada pemilihan umum," terang dia.

Sebagian besar masyarakat telah lama menuntut pemerintahan yang dipimpin PM Diab dibubarkan. Sejumlah menterinya mundur lebih dulu pada akhir minggu lalu sampai Senin. Sementara sisanya, termasuk menteri keuangan, berencana mengikuti langkah tersebut, kata beberapa sumber di kalangan kementerian dan pengamat politik.

Presiden Aoun mengatakan bahan peledak itu disimpan dalam kondisi yang tidak aman selama bertahun-tahun di pelabuhan. Ia juga menjelaskan pihaknya akan mendalami beberapa kemungkinan sebab ledakan, di antaranya kecelakaan, kelalaian, atau pengaruh dari luar.

photo
PM Lebanon Hassan Diab mengundurkan diri, Senin (10/8), pascaledakan hebat yang terjadi di Pelabuhan Beirut. - (AP)

Kabinet memutuskan menyerahkan penyelidikan itu ke Dewan Yudisial, kata kantor berita resmi NNA dan seorang sumber di kementerian. Dewan Yudisial merupakan lembaga peradilan tertinggi di Lebanon yang vonisnya tidak dapat naik banding.

Dewan Yudisial biasanya menangani kasus keamanan tingkat tinggi. Sementara itu, masyarakat Lebanon masih berjuang untuk menghadapi luasnya dampak dari ledakan yang menghancurkan keseluruhan wilayah kota.

"Ekonomi telah terpuruk dan saat ini saya tidak mampu lagi mencari uang," kata Eli Abi Hanna, seorang warga setempat yang rumah dan bengkel mobilnya hancur akibat ledakan. "Lebih mudah mencari uang saat perang sipil. Para politikus dan krisis ekonomi telah merusak segalanya," kata dia.

Pihak militer pada Senin mengumumkan lima jasad telah ditemukan dari reruntuhan sehingga total korban tewas mencapai 163. Upaya penyelamatan dan pencarian masih berlanjut sampai saat ini.

Aksi protes anti pemerintah selama dua hari terakhir merupakan unjuk rasa terbesar sejak Oktober tahun lalu. Saat itu, para demonstran kecewa karena mereka meyakini korupsi yang masif, tata kelola pemerintahan buruk, dan rendahnya tingkat akuntabilitas jadi biang krisis ekonomi di Lebanon.

Sebuah pertemuan dari lembaga-lembaga donor internasional pada Ahad (9/8) berjanji akan mengumpulkan dana kurang lebih 253 juta euro (sekitar Rp 4,36 triliun) untuk membiayai bantuan kemanusiaan langsung. Namun, negara-negara asing yang memberi dana menuntut pemerintah setempat transparan saat menggunakan bantuan tersebut.

Beberapa warga ragu rezim akan berubah, mengingat sistem politik sektarian telah mendominasi di Lebanon sejak berakhirnya konflik pada 1975-1990. "Tidak akan ada yang berhasil, orang-orang (di pemerintahan) masih sama. Ini merupakan jaringan mafia," kata Antoinette Baaklini, seorang pegawai perusahaan listrik yang kantornya hancur akibat ledakan.

Sementara itu ketegangan di Beirut masih ditambah dengan upaya yang dilakukan ahli kimia dan petugas pemadam kebakaran. Mereka bekerja mengamankan setidaknya 20 kontainer berisi bahan kimia berbahaya yang letaknya tak jauh dari lokasi ledakan di pelabuhan Beirut. Upaya tersebut dilakukan setelah ditemukan adanya kebocoran bahan kimia.

Beberapa kontainer yang bocor rusak akibat ledakan pekan lalu, ujar ahli kimia asal Prancis, Anthony. Usaha mengamankan bahan kimia berbahaya dilakukan juga dengan bantuan ahli Italia.

"Kami mengetahui kontainer dari simbol bahan berbahaya yang tertera di kontainer. Dari situ kelihatan ada beberapa kontainer yang bocor," ujar Anthony, kepada AP.

Pakar bersama petugas pemadam kebakaran lalu melakukan analisa isi kandungan kontainer. Ia mengatakan, mereka harus membersihkan semuanya dan meletakkannya di lokasi yang aman.

Anthony tidak mengidentifikasi bahan kimia apa saja yang ditanganinya. Pejabat Lebanon belum ada yang mengomentari potensi bahaya dari bahan kimia di pelabuhan tersebut.

"Ada juga bahan mudah terbakar lain di kontainer lain, seperti ada baterai, dan produk lain yang bisa meningkatkan risiko ledakan," kata Anthony. Ia mendeskripsikan ledakan di pelabuhan yang begitu kuat telah memporak-porandakan kontainer-kontainer di sekitar sana.

Belum jelas apakah ada potensi bahaya tambahan dari kontainer lain di zona lain pelabuhan. Pakar Italia dan Prancis pasalnya hanya ditugaskan untuk bekerja di zona yang spesifik dan mengamankan lokasi itu saja.

photo
Lebanon mengalami krisis berkepanjangan. - (Voice of America)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement