Senin 10 Aug 2020 00:45 WIB

Aliansi Masyarakat Adat Desak RUU Masyarakat Adat Disahkan

Disahkannya RUU Masyarakat Adat menjamin komunitas adat yang tersebar di nusantara.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Agus Yulianto
Anggota masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik sedang berada di kawasan hutan adat mereka di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Hutan adat dengan luas sekitar 9.480 hektare itu telah mendapat pengakuan dari negara, lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 20 Mei 2020.
Foto: Dok. Pribadi/Herkulanus Sutomo Mana
Anggota masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik sedang berada di kawasan hutan adat mereka di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Hutan adat dengan luas sekitar 9.480 hektare itu telah mendapat pengakuan dari negara, lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 20 Mei 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) masyarakat adat. Mereka meminta eksekutif dan legislatif untuk mendukung ketahanan dan pertumbuhan masyarakat adat.

"Disahkannya RUU Masyarakat Adat akan menjamin komunitas adat yang tersebar di nusantara untuk membangun resiliensi komunitasnya yang secara langsung menyumbang pada ketahanan Indonesia sebagai bangsa," kata Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi, Ahad (9/8).

Dia mengatakan, masyarakat adat telah menunjukan ketahanan misal dalam bidang pangan yang patut dicontoh di tengah krisis akibat sebaran virus Covid-19 saat ini. Dia mengatakan, masyarakat adat berhasil terus memproduksi pangan, terutama pangan lokal guna memenuhi kebutuhan mereka.

"Perlindungan dan pengakuan negara terhadap pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat untuk secara bebas mengelola wilayah adat dan sumber-sumber produksinya menjadi kunci utama untuk memastikan krisis dapat dilalui dengan selamat," katanya.

photo
Anggota masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik sedang berada di kawasan hutan adat mereka di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Hutan adat dengan luas sekitar 9.480 hektare itu telah mendapat pengakuan dari negara, lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 20 Mei 2020. - (Dok. Pribadi/Herkulanus Sutomo Mana)

Salah satu tokoh masyarakat adat Menua Sungai Utik (MAMSU) di Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Apay Janggut menegaskan bahwa meminta komitmen negara dalam mempertahankan kawasan adat. Menurutnya, kawasan adat merupakan aset dan harta yang harus dijaga dari ancaman korporasi maupun ancaman lainnya.

"Wilayah adat harus tetap dipertahankan jika tidak mau rusak," kata Kepala Rumah Panjang Sungai Utik itu.

Dia mengungkapkan bahwa secara khusus, masyarakat adat juga tidak mau air yang menghidupi mereka tercemar oleh limbah korporasi. Mereka meminta agar semua pihak tidak merusak hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka.

"Kami menganggap hutan itu sebagai supermarket, ada makanan hingga obat-obatan. Maka ketika itu tetap terpelihara maka kami akan mudah untuk mendapatkan makanan, sayuran, obat-obatan dan hal yang sudah turun temurun dari nenek moyang kami dahulu," katanya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ( Walhi) Nur Hidayati menilai penting bagi negara untuk melihat cara pandang kebutuhan masyarakat adat. Menurutnya, banyak hal yang bisa digali dari kehidupan masyarakat adat.

"Bisa coba ikut dengan sekolah adat agar bisa hidup bersama alam dan hidup dengan daya dukung dari alam itu sendiri," katanya.

Dia mengatakan, kekayaan alam beserta adat istiadat dan budaya merupakan harta bagi anak-anak muda ke depan. Dia melanjutkan, generasi penerus akan kehilangan semua hal tersebut jika tidak dijaga dengan baik dan benar.

Dia mengungkapkan, dalam konteks lingkungan sebenarnya wilayah-wilayah masyarakat adat ini merupakan benteng terakhir. Dia mengatakan, artinya wilayah adat ikut menjaga kondisi alam agar tetap baik.

Dia melanjutkan, kondisi alam yang baik bisa menahan laju kerusakan dunia lebih jauh lagi. Dia menekankan, ketidakpedulian dengan benteng terakhir itu berpotensi merusak ekologi sehingga akan semakin cepat dan banyak terjadi bencana alam.

Seperti diketahui, 9 Agustus merupakan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) 2020. peringatan tahun ini digelar sedikit berbeda mengingat pandemi Covid-19 yang terjadi di seluruh dunia termasuk Indonesia.

Peringatan tahun ini mengartikulasikan semangat HIMAS ke dalam tema nasional yakni "Kedaulatan Pangan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat". Tema diambil menyusul hubungan kuat antara kedaulatan wilayah adat dan kemampuan komunitas adat bertahan di tengah bencana.

Peringatan HIMAS dinilai menjadi momen untuk kembali mengingatkan publik dan pemerintah bahwa masyarakat adat adalah bukti dan teladan dalam hal cara menyeimbangkan kembali hubungan dengan alam. Hal itu bakal mengurangi risiko pandemi di masa depan termasuk kemampuan untuk beradaptasi di tengah perubahan-perubahan atas lingkungan dan teknologi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement