Sabtu 08 Aug 2020 11:12 WIB

3 Alasan Amerika Serikat Hancurkan Irak-Saddam 2003 Lalu

Ada tiga alasan Amerika Serikat hancurkan Irak pada 2003 lalu.

Ada tiga alasan Amerika Serikat hancurkan Irak pada 2003 lalu. Perang Irak/Ilustrasi
Ada tiga alasan Amerika Serikat hancurkan Irak pada 2003 lalu. Perang Irak/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  Apa sebenarnya motivasi Amerika Serikat di balik invasi militer kedua ke Irak pada 2003 lalu?

Sekurangnya ada tiga teori yang dapat menjelaskan persoalan tersebut. Pertama, perang ini bertaut dengan kepentingan geopolitik Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah.

Baca Juga

Untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan yang kerap tidak stabil itu Amerika Serikat membutuhkan teman (baca: Israel) yang juga punya kepentingan sama. 

Karena alasan itu, Amerika Serikat selalu berupaya melindungi Israel, apalagi saat ia sedang merasa resah di bawah bayang-bayang ancaman Irak.

Kedua, perang ini berkait dengan kepentingan minyak Amerika Serikat, sebab Amerika Serikat mempunyai cadangan minyak yang sangat kecil, hanya 0,3 persen dari cadangan minyak dunia, sedangkan kebutuhan konsumsi minyak Amerika Serikat mencapai 23 persen. 

Oleh karena itu, Amerika Serikat berkepentingan untuk mengantongi jaminan keamanan atas pasokan minyak.

Ketiga, perang ini berhubungan dengan ambisi Amerika Serikat sebagai negara terkuat di dunia yang tidak ingin setiap kepentingannya dihambat oleh apapun, termasuk sebuah rezim berkuasa.

Oleh karena itu, segala hal yang menurut persepsi Amerika Serikat mengandung potensi ancaman akan selalu diberangusnya. Neo-kolonialisme. 

Dalam sepanjang sejarah hubungan Amerika Serikat -Israel, sejak awal Amerika Serikat selalu menjalin hubungan hangat dengan negara Yahudi itu. Amerika Serikat selalu bergandengan tangan dengan Israel khususnya untuk membendung pengaruh negara-negara 'garis-keras' Arab dan kelompok militan Islam yang menentang perilaku neo-kolonialisme dan neo-imperialisme di bawah pimpinan Amerika Serikat.

Dalam kacamata politik Amerika Serikat, potensi ancaman itu tak boleh dibiarkan apalagi jika mengarah pada sekutu dekatnya, Israel. Israel pernah menyatakan bahwa Irak berpotensi mengancam eksistensi Israel dengan tuduhan Irak punya rudal pemusnah massal yang mampu menjangkau wilayah Israel.

Itulah sebabnya mengapa Amerika Serikat selalu berupaya keras untuk membasmi segala potensi ancaman guna mengamankan seluruh kepentingannya di Timur Tengah.

Kewaspadaan Amerika Serikat terhadap situasi keamanan di Timur Tengah tidak pernah surut karena dalam pandangan Amerika Serikat kawasan ini memang belum pernah steril dari ancaman yang dapat membahayakan kepentingan Amerika Serikat dan keberadaan Israel. 

Negara yang dianggap Amerika Serikat menampilkan ancaman bahaya serius adalah Irak dan Suriah. Selain itu, ancaman juga berasal dari kelompok-kelompok Islam militan seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hezbullah dan Hamas di Palestina, dan belakangan juga jaringan Al-Qaedah yang konon ada di seluruh kawasan Timur Tengah. 

Untuk membendung perkembangan kekuatan yang diperhitungkan akan dapat mengganggu kepentingan ' Amerika Serikat kecil' dan 'Israel besar' itu, Amerika Serikat mengambil kebijakan lebih jauh dengan memperkuat posisi pertahanan Israel serta memberi berbagai paket bantuan ekonomi dan teknologi.

Itulah sebabnya Israel kini menjadi negara yang secara ekonomis, teknologi, dan militer paling unggul di Timur Tengah. Dengan demikian, Israel bisa menjadi faktor penekan dalam percaturan politik regional Timur Tengah.

Keberpihakan Amerika Serikat terhadap Israel pada perkembangannya kini sudah sampai pada tahap berlebihan dengan membiarkan apa saja perilaku Israel yang bertentangan dengan kemanusiaan, keadilan dan perdamaian. 

photo
Patung Saddam diruntuhkan di Baghdad pada 2003 - (Jarome Delay/ AP)

Sikap Amerika Serikat seperti ini dapat dibaca dengan jelas dari perilaku standar gandanya, misalnya Amerika Serikat menjatuhkan sanksi embargo ekonomi terhadap Irak akibat serbuannya ke Kuwait dan Amerika Serikat tak pernah berbuat hal yang sama ketika Israel melakukan aksi militer terhadap Palestina. Juga, Amerika Serikat bersikeras melucuti senjata Irak sementara membiarkan Israel mengembangkan senjata pemusnah massal dalam jumlah dan skala besar.

Selain kepentingan pemupukan kekuatan Israel dalam rerangka kepentingan geopolitik, dalam agresinya ke Irak ini Amerika Serikat juga ingin meraih kepentingan ekonomi, khususnya sumber daya minyak. Sebagaimana diketahui bahwa kawasan Timur Tengah menyimpan cadangan minyak terbesar di dunia, mencapai sekitar 58 persen dari total cadangan minyak dunia. Cadangan minyak tersebut utamanya berada di Arab Saudi, Iran, Irak dan Kuwait.

Sementara ini, dua dari empat negara tersebut (Arab Saudi dan Kuwait) sudah tunduk dan bersedia melayani Amerika Serikat, sedangkan Irak di bawah Saddam Hussein masih menjadi 'anak binal' yang sulit ditundukkan. Kendati pasokan minyak Amerika Serikat dari Arab Saudi dan Kuwait serta sejumlah negara produsen minyak lain untuk sementara dapat memenuhi kebutuhan konsumsi minyak Amerika Serikat, namun untuk jangka panjang hal itu masih belum sanggup memenuhi rasa aman Amerika Serikat.

Itulah sebabnya, sejak sepuluh tahun terakhir Amerika Serikat sangat geregetan untuk mengusir Saddam Hussein dari singgasana kekuasaan Irak, karena Saddam dianggap menjadi penghalang ambisinya. Bila Saddam tersingkir, Amerika Serikat akan dapat leluasa menguasai sumber minyak Irak dan sekaligus menimbulkan rasa aman yang lebih besar bagi Israel.  

Sebagai negara adidaya tunggal yang kekuatannya tak tertandingi di dunia, secara naluriah Amerika Serikat selalu condong untuk mendemonstrasikan supremasi dan superioritasnya. Predikat adidaya Amerika Serikat akan luntur dengan sendirinya apabila supremasi dan superioritas Amerika Serikat tidak pernah dibuktikan keampuhannya. Dalam pengertian itu, Amerika Serikat cenderung mencari target bidikan yang dapat digunakan sebagai sarana pembuktian. Bagi Amerika Serikat, yang paling mudah adalah membidik negara-negara yang dianggapnya 'suka membangkang'.

Hingga saat ini, tidak kurang dari tujuh negara telah menjadi korban pamer kekuasaan Amerika Serikat seperti Kuba, Libya, Somalia, Haiti, Afghanistan, Iran, dan Irak. Irak dihajar mesin perang AS secara keroyokan dalam Perang Teluk II pada 1991, Somalia dibombardir pada 1992 dan 1993, Haiti diserang pada 1994 dan 1995 untuk mengembalikan Presiden Aristides ke pentas kekuasaan Haiti, Balkan dibombardir dalam perang Bosnia pada 1999, Afghanistan dibombardir pula pada 2001 untuk menggulingkan rezim Taliban; dan pada 2003 Amerika Serikat. secara besar-besaran melancarkan agresi militer terhadap Irak untuk kedua kalinya.

Perang Irak yang digelar Amerika Serikat tanpa mandat PBB ini menunjukkan betapa Amerika Serikat tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri, arogan dalam arti yang keterlaluan. 

Selama ini Amerika Serikat selalu mengklaim dirinya sebagai negara penjunjung demokrasi dan HAM, ternyata ia sendiri pelanggar demokrasi dan HAM. Bahkan pelanggaran demokrasi itu ditunjukkan di forum PBB, lembaga demokrasi dunia yang sangat terhormat. Semua ini lebih jauh menunjukkan bahwa betapa Amerika Serikat melecehkan fungsi dan harga-diri lembaga dunia yang sangat dihormati itu.

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement