Kamis 06 Aug 2020 18:22 WIB

Akademisi tak Sepakat Soal Kritik Pengangkatan Direksi BUMN

Menggunakan Perpres No. 177/2014 sebagai dasar kritik dianggap tak tepat.

Kementrian BUMN (Ilustrasi)
Foto: ANTARA
Kementrian BUMN (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Akademisi Universitas Warmadewa, Dr Iwayan Suka Wirawan, SH, MH menilai tudingan bahwa pengangkatan Direksi dan Komisaris BUMN di era kepemimpinan Menteri BUMN Erich Thohir inkonstitusional, patut dipertanyakan. Selain tidak berpegang pada ide-ide dasar hukum, ia menyatakan, pengangkatan Direksi dan Komisaris BUMN inkonstitusional berangkat dari Perpres No. 177/2014 adalah sebuah kekeliruan.

"Dasar hukum pelibatan TPA dalam pengangkatan Direksi dan Komisaris BUMN bukan Perpres No. 177 Tahun 2014, melainkan regulasi khusus dalam hal ini Inpres No. 8 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara. Inpres ini telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi masing-masing Inpres No. 8 Tahun 2005 dan Inpres No. 9 Tahun 2005," kata dia melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (6/8).

photo
Dr Iwayan Suka Wirawan, SH, MH - (Dok. Pri)

Masih menurut dia, berbeda dengan Inpres No. 8 Tahun 2014 yang mengatur pengangkatan Direksi dan Komisaris pada jabatan korporasi (BUMN), Perpres No. 177 Tahun 2004 mengatur pengangkatan jabatan pimpinan tinggi utama dan pimpinan tinggi madya. Kedua jabatan ini merupakan jabatan negeri atau jabatan dalam bidang Eksekutif, jabatan pada bidang kekuasaan negara di luar kekuasaan legislatif dan yudisial. 

Iwayan mengatakan, karakter hukum kekuasaan termasuk kekuasaan Eksekutif adalah hukum publik, sehingga sebagai korporasi, pengangkatan Direksi dan Komisaris pada BUMN tidak tunduk pada Perpres No. 177 Tahun 2014, melainkan tunduk pada Inpres No. 8 Tahun 2014.

"Dalam konstruksi Perpres No. 177 Tahun 2014, yaitu melalui mekanisme TPA, pengangkatan dan pemberhentian pejabat Pimpinan Tinggi Utama dan Pimpinan Tinggi Madya ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah lolos penilaian TPA, karena Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan Aparatur Sipil Negara memang berwenang menetapkan pengangkatan dan pemberhentian pejabat Pimpinan Tinggi Utama dan Pimpinan Tinggi Madya," papar dia.

Sedangkan berdasarkan Inpres No. 8 Tahun 2014, hanya pengangkatan jabatan Direktur Utama, Komisaris Utama, dan/atau Ketua Dewan Pengawas BUMN serta PT yang yang sifatnya strategis saja yang proses pengangkatannya harus dilakukan melalui mekanisme TPA yang diketuai Presiden guna mendapat pertimbangan dan persetujuan Presiden.

"Itulah sebab penentuan keabsahan dan konstitusionalitas proses pengangkatan Direksi dan Komisaris pada BUMN harus merujuk pada Inpres No. 8 Tahun 2014, bukan berdasarkan Perpres No. 177 Tahun 2014.  Jika identifikasi regulasinya saja keliru, tidak mungkin klaim inkonstitusionalitas itu dapat dipertanggungjawabkan. Atau bisa jadi, ini disebabkan karena kegagalan memahami perbedaan konsep 'jabatan negeri' dan jabatan pada korporasi," paparnya.

Penilaian calon Direksi atau Komisaris BUMN oleh TPA merupakan beleid bersifat khusus. Karena itu, kata dia, terlepas dari adanya beleid ini, kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan Direksi atau Komisaris BUMN pada prinsipnya adalah kewenangan Menteri BUMN. Kewenangan Menteri BUMN untuk mengangkat dan memberhentikan Direksi dan Komisaris BUMN merupakan jenis kewenangan atributif karena diatribusikan secara langsung oleh peraturan perundang-undangan setingkat UU dalam hal ini UU No. 19 Tahun 2003. 

"Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, saya justru lebih menyarankan Adian untuk mendekati isu-isu BUMN melalui kegiatan-kegiatan positif seperti 'direct academic discourse'," ujarnya.

Terhadap masalah rangkap jabatan, kata dia, penting untuk dikemukakan disini bahwa identifikasi tentang sah atau tidaknya rangkap jabatan tidak bisa tidak berangkat dari dasar keberadaan BUMN, yaitu melalui korporasi, negara hadir untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara yang telah ditetapkan konstitusi. 

"Kehadiran negara melalui korporasi berdasarkan konstitusi (sebagai hukum publik) merupakan alasan mendasar penyatuan negara dan korporasi, yang penentuan tentang sah atau tidaknya rangkap jabatan akan sangat bergantung pada “roh” dan cara pandang sistem hukum negara terhadap sifat relatif dikotomi hukum publik dan hukum privat," kata Iwayan.

Ia menyampaikan, atas dasar itulah keberadaan pejabat pemerintah (yang memenuhi syarat) di BUMN secara lebih utuh seharusnya dilihat sebagai wakil negara (kuasa pemerintah sebagai organ negara). Terutama, pada entitas-entitas hukum privat seperti BUMN yang diciptakan atau dibentuknya sendiri, dan bahwa sah peraturan-peraturan yang sifatnya koheren dengan pikiran ini. 

"Diaturnya Pejabat Struktural dan Pejabat fungsional Pemerintah sebagai salah satu sumber calon anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN dalam regulasi, misalnya, merupakan dokumen yuridis yang selain valid dengan sendirinya menepis tudingan 'ilegalitas rangkap jabatan'," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement