Rabu 05 Aug 2020 22:57 WIB

Islam di Lebanon, Desakan untuk Lepas dari Politik Sektarian

Di Lebanon terdapat 18 agama yang diakui resmi oleh negara.

Di Lebanon terdapat 18 agama yang diakui resmi oleh negara. Warga Beirut, Lebanon menunaikan shalat id di depan masjid Muhammad al-Amin, Beirut.
Foto: Wael Hamzeh/EPA-EFE
Di Lebanon terdapat 18 agama yang diakui resmi oleh negara. Warga Beirut, Lebanon menunaikan shalat id di depan masjid Muhammad al-Amin, Beirut.

REPUBLIKA.CO.ID, Inilah negeri Timur Tengah dengan 18 agama: Lebanon. Mungkin tak berlebihan jika negeri ini disebut negeri pelangi karena keanekaragamannya. Lebanon mengakui 18 komunitas agama yang terdiri dari empat Muslim, 12 Kristen, Sekte Druze, dan Yudaisme.

Tiga kantor politik utama yaitu presiden, ketua parlemen, dan perdana menteri dibagi di antara tiga komunitas terbesar yakni Kristen Maronit, Muslim Syiah, dan Muslim Sunni. Pembagian kekuasaan masing-masing berdasarkan perjanjian yang dimulai pada 1943. Sementara itu 128 kursi Parlemen juga dibagi secara merata antara Kristen dan Muslim (termasuk Druze).

Baca Juga

Pada pengujung April 2010, ribuan orang memadati jalan-jalan utama di Kota Beirut, ibu kota Lebanon. Kota Beirut dijuluki sebagainya Parisnya Timur Tengah. Orang-orang tersebut bukan sedang merayakan sesuatu, melainkan tengah menggelar aksi demonstrasi, menuntut diberlakukannya kehidupan sekularisme di negeri itu.      

Para demonstran itu meminta agar tidak ada campur tangan agama dalam urusan politik di negara yang berbatasan dengan Suriah di utara dan timur, serta Israel di selatan. Tentu saja, aksi tersebut mencengangkan banyak pihak. Sebab, selama ini belum pernah ada gerakan berskala besar yang terang-terangan menolak campur tangan agama dalam kehidupan politik.  

 

Mereka berjalan menuju parlemen dan menentang semua keterlibatan agama dalam politik. Mereka juga menginginkan agar pemerintah dan parlemen Lebanon melarang politik sektarian, yang bersumber dari agama. Bahkan, para demonstran ini menetapkan 26 April 2010 lalu sebagai hari ‘Kebanggaan terhadap Sekularisme’. Mereka menolak adanya dominasi agama dalam kehidupan politik dan sosial.  

Beragam aliran keagamaan tersebut tentunya mempunyai implikasi. Seperti pernikahan yang berlainan agama dilarang dan pemberlakuan sistem kuota yang berdasarkan agama dalam bidang pendidikan dan pekerjaan. Setiap orang yang akan bekerja di sebuah perusahaan dan kantor, maka terlebih dahulu yang ditanyakan adalah dari golongan apa dan apa agamanya.  

Demikian pula di bidang politik dan pemerintahan, juga dibagi berdasarkan agama. Misalnya, presidennya seorang Kristen dan perdana menteri dari Suni. Sementara ketua parlemennya dari Syiah dan wakil ketua parlemen dari Druze.  

Kebijakan serupa juga diterapkan dalam angkatan bersenjata. Di Lebanon, setiap  kelompok memiliki pasukan tentara (milisi) dengan kemampuan persenjataan yang baik. Ini yang kemudian melahirkan warlord (panglima perang) yang memiliki pasukan dengan senjata yang sangat besar. Tak heran di Lebanon, selain serangan dari Israel, juga terjadi perang saudara antara berbagai golongan dengan latar belakang agama dan ideologi yang ada.   

Sebelum perang saudara yang berlangsung selama kurun 1975-1990, negara ini menikmati ketenangan dan kemakmuran yang relatif baik. Bahkan, sektor pariwisata, pertanian, dan perbankan, mengalami masa-masa kejayaan. Karena kekuatan finansialnya, Lebanon dianggap sebagai ibu kota perbankan di dunia Arab dan sebagai Swiss di Timur Tengah.  

Usai perang saudara berakhir, pemerintah dan rakyat Lebanon melakukan banyak upaya untuk menghidupkan kembali ekonominya dan membangun ulang infrastruktur nasionalnya. 

Namun, pada 2006 negara ini kembali porak poranda oleh serangan-serangan Israel. Selain menimbulkan banyak korban dari pihak sipil maupun militer, perang tersebut juga menyebabkan kerusakan hebat pada infrastruktur sipil dan menimbulkan pengungsian besar-besaran selama periode Juli 2006 hingga gencatan senjata diberlakukan pada Agustus 2006.    

Kendati secara geografis, Lebanon dan Israel bertetangga, namun hubungan kedua negara ini tidak pernah harmonis. Lebanon bisa dikatakan sebagai salah satu pengkritik utama kebijakan negara Zionis tersebut terkait persoalan Palestina.  

Konflik di antara kedua negara ini mulai berlangsung pada 1982. Saat itu, tentara Israel melakukan invasi berskala penuh yang melibatkan persenjataan berat, pesawat tempur, dan kapal-kapal ke wilayah Lebanon. Israel berdalih bahwa sasaran mereka adalah mendorong para gerilyawan Palestina mundur dari perbatasan untuk mencegah serangan-serangan di dalam wilayah Israel. 

Dalam kenyataannya pasukan Israel memasuki Beirut dan untuk pertama kalinya mengepung sebuah ibu kota negara Arab. Dari situ kemudian mulai jelas, tujuan Israel sesungguhnya, yakni ingin menguasai wilayah tersebut dengan cara mengintimidasi Lebanon agar mau menandatangani perjanjian perdamaian.  

Pertempuran antara kekuatan militer kedua negara inipun tidak bisa terelakkan lagi. Pada kurun waktu 6 Juni sampai 26 September 1982, terjadi pertempuran yang pada akhirnya memaksa pasukan Israel mundur dari Beirut Barat.  

    

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement