Rabu 05 Aug 2020 14:55 WIB

Kengerian di Kashmir dalam Setahun India Cabut Hak Istimewa

India memberlakukan pembatasan menyeluruh di wilayah Kashmir

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Seorang anak lelaki Muslim Kashmir melarikan diri untuk keselamatan dengan mengangkat tangannya di lokasi konflik di daerah pusat kota Srinagar, Kashmir, India, Selasa (19/5). Menurut laporan setempat, dua gerilyawan tewas dan dua personil keamanan terluka dalam persitiwa baku tembak itu
Foto: EPA-EFE/FAROOQ KHAN
Seorang anak lelaki Muslim Kashmir melarikan diri untuk keselamatan dengan mengangkat tangannya di lokasi konflik di daerah pusat kota Srinagar, Kashmir, India, Selasa (19/5). Menurut laporan setempat, dua gerilyawan tewas dan dua personil keamanan terluka dalam persitiwa baku tembak itu

REPUBLIKA.CO.ID, SRINAGAR -- Pada 5 Agustus 2019, Kashmir yang dikuasai India menerima kabar buruk dari pemerintah India yang secara mendadak membatalkan status semi-otonom wilayah yang disengketakan dan memberlakukan tindakan keras di wilayah itu. Kashmir yang mayoritas Muslim dibatalkan hak-hak istimewanya dengan pencabutan pasal 35A dan 370 konstitusi India.

Sejak itu, pemerintah India memberlakukan pembatasan menyeluruh di Kashmir, mulai dari jam malam hingga pemadaman komunikasi, serta memberlakukan undang-undang (UU) baru yang memicu iklim ketakutan bagi warga Kashmir. Pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi mengesahkan UU di Parlemen yang mencabut kedaulatan negara bagian Jammu dan Kashmir, membatalkan konstitusi terpisah, dan menghapus perlindungan terhadap tanah warisan dan pekerjaannya.

Baca Juga

Wilayah itupun dibagi menjadi dua wilayah federal oleh Modi, yakni Ladakh dan Jammu-Kashmir. Untuk mencegah semua pemberontakan publik akibat dicabutnya status wilayah Kashmir, wilayah tersebut dipenuhi tentara yang berjaga-jaga dengan kawat berduri. 

Saluran telepon dan koneksi internet dimatikan dan semua penduduk berada di bawah jam malam 24 jam selama beberapa pekan. Setelah itu, hingga satu tahun lamanya Kashmir masih tertutup.

Pihak berwenang India juga telah menahan dan menangkap ribuan pemuda serta para pemimpin Kashmir yang pro-kebebasan dan politisi pro-India sejak setahun lalu. Para pejabat mulai mengintegrasikan Kashmir ke seluruh India dengan serangkaian perubahan administrasi yang diberlakukan tanpa masukan publik. 

Banyak etnis Muslim Kashmir memandang perubahan itu sebagai aneksasi, sementara anggota komunitas minoritas Hindu dan Budha awalnya menyambut langkah itu tetapi kemudian menyatakan takut kehilangan tanah dan pekerjaan di wilayah Himalaya yang masih asli. Undang-undang domisili yang diluncurkan pada Mei memungkinkan bagi setiap warga negara India yang telah tinggal di wilayah tersebut setidaknya selama 15 tahun atau telah belajar selama tujuh tahun dan mengambil ujian tertentu untuk menjadi penduduk tetap Jammu-Kashmir. Dokumen residensi baru diperlukan untuk semua orang.

Banyak etnis Kashmir melihat langkah itu sebagai upaya menggunakan pemukim untuk merekayasa perubahan demografis di satu-satunya wilayah mayoritas Muslim di India. Pada Juli, pemerintah juga melonggarkan peraturan bagi tentara India untuk memperoleh tanah di Kashmir dan membangun permukiman "strategis". 

Partai-partai politik Pro-India Kashmir mengecam langkah itu. Partai Konferensi Nasional mencemooh dan menyebutnya sebagai perampasan tanah besar-besaran untuk mengubah seluruh wilayah menjadi basis militer.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement