Senin 03 Aug 2020 15:55 WIB

Menghakimi Bahasa: Kisah Pemberedelan Media Zaman Belanda

Sayuti Melik pernah disidang karena tulisan di majalan Pesat yang dipimpinnya.

Sayuti Melik dan istrinya SK Trimurti
Foto:

Penggunaan bahasa campuran pada masa itu sudah biasa. Penulis Belanda pun ketika menulis dalam bahasa Belanda juga menggunakan bahasa campuran, bercampur dengan kata-kata bahasa Indonesia atau daerah. Di koran-koran berbahasa Indonesia, misalnya, pemimpin redaksi masih ditulis menggunakan bahasa Belanda: hoofdredacteur.

Ada pembaca iseng yang menanyakan hal itu kepada Anwar Tjokroaminoto redaktur pelaksana (eerste redacteur) Pemandangandengan nada protes: Koran-koran menganjurkan masyarakat melakukan langkah pemerkayaan bahasa Indonesia, tapi koran-koran masih mempertahankan bahasa Belanda. Misalnya untuk pemakaian directeur, hoofdredacteur, directeur-hoofdre dacteur, plaatsverv angend hoofdredacteur, eerste redacteur.

Di kolom Isi Podjok 17 Juni 1940, Anwar yang menggunakan nama pena Bang Bedjat menjawab protes pembaca Pemandangan itu dengan nada bergurau. Hm, koq bang Bedjat jang disalahin. Bang Bedjat sendiri sebetoelnya soedah tjari2 tapi dasar boekan ahli bahasa, helaas kaga' bisa dapat. Tapi karena ada permintaan soepaja adain, lantas bang Bedjat poeter kaki (poeter otak bang! Corr.)

Dapatlah arti. Lalu ia menjawab: Directeur sama dengan ketoea oesaha. Hoofdredacteur sama dengan ketoea sidang pengarang. Tapi bisa disingkat. Nama ketoea sidang pengarang dirobah djadi ketoea warta. Djadi:direc teur-hoofdredacteur moesti bernama: Ketoea Oesaha Warta. Plaatsvervangend hoofdredacteur bisa dibikin Pemangkoe ketoea warta. Eh,...lantas dikira toekang mangkoe. Gagal lagi. Dus moesti: pengganti- ketoea-warta. Boeat nama eerste redacteur bisa dibikin wartawan I atau kepala-warta, sebab dia jang njoesoen2 di mana taroe matjam2 warta atau berita.

Pada 1947, Suluh Ra'jat pernah menggunakan kata di-huisarrest-kan untuk menyebut dijadikan tahanan rumah. Koran De Nieuwsgier keberatan dengan penggunaan kata itu dengan alasan tak perlu ada kerja sama dengan bahasa Belanda untuk memperkaya bahasa Indonesia karena bahasa daerah akan memperkaya bahasa Indonesia. Namun, Suluh Ra'jat mempunyai alasan: bukan karena bahasa Indonesia sulit, melainkan karena lebih ringkas menggunakan bahasa Belanda di-huisarrest-kan daripada ditahan di rumah sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement