Sabtu 01 Aug 2020 18:07 WIB

Ahistoris, Kebijakan POP Sebaiknya Dihentikan

Kisruhnya POP mencerminkan pemerintah terkesan melupakan jasa organisasi masyarakat

Direktur Eksekutif Centre of Public Policy Studies ( CPPS ) Institut STIAMI Jakarta/ Ketua Bid. PPP AsIAN Bambang Istianto.
Foto: CPPS
Direktur Eksekutif Centre of Public Policy Studies ( CPPS ) Institut STIAMI Jakarta/ Ketua Bid. PPP AsIAN Bambang Istianto.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bambang Istianto, Direktur Eksekutif Centre of Public Policy Studies ( CPPS ) Institut STIAMI Jakarta/ Ketua Bid. PPP AsIAN

JAKARTA -- Kebijakan POP ( Program Organisasi Penggerak ) di bidang pendidikan jenis kebijakan teknokratik dan birokratik telah melukai hati rakyat pada akhirnya menuai kecaman dan diminta dihentikan. Meskipun telah diklarifikasi langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan sekaligus minta maaf kepada masyarakat namun kekisruhan dan perbincangan publik yang bernada negatif masih berlangsung.

Baca Juga

Kebijakan tersebut dinilai tidak saja dari segi konten bersifat diskriminatif, tidak transparan juga ahistoris. Karena itu jangan disalahkan jika reaksi publik sangat keras kepada Kemendikbud yang mengeluarkan kebijakan kurang dikomunikasikan dengan masyarakat secara cerdas. Demikian pula keheranan publik mencuat ketika POP lebih dipercayakan kepada yayasan Tanoto Foudation dan Putera Sampurna.

Karena itu berbagai kalangan ahli pendidikan secara reflektif menduga arah pendidikan akan diarahkan pada kiblat Amerika sentris yang sekuralistik dan materialistik. Masyarakat Indonesia selama ini mencemaskan dunia pendidikan yang cenderung memperkuat otak atau orientasi hanya menggenjot intelektualitas tapi menihilkan moralitas dan etika anak didik.

Kisruhnya POP mencerminkan pemerintah terkesan melupakan jasa organisasi masyarakat sebesar NU dan Muhamadiyah serta PGRI yang selama ini diberi atau tidak alokasi anggaran tetap konsisten menyelenggarakan pendidikan. Ormas tersebut dengan ciri dan karakterisitik kurikulumnya terus berupaya meletakan dasar moralitas anak bangsa.

Disamping itu gagasan Merdeka Belajar sebagai bagian dari kebijakan POP yang belum jelas ujungnya, dipersepsikan menambah beban baru masyarakat dan para orang tua. Seperti gagasan sebelumnya, ini seperti "kelinci percobaan" untuk kurikulum.

Pada prinsipnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penddikan merupakan keniscayaan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, ini mustahil hanya dikerjakan oleh pemerintah saja. Karena itu menafikan keterlibatan ormas-ormas dalam penyelenggaraan pendidikan dikarenakan persoalan teknis dan birokrasi dalam pola seleksinya, menunjukan kurangnya sensitifitas para pembuat kebijakan di jajaran Kemendikbud.

Dengan demikian perlu diciptakan suasana kondusif dan harmonis dengan para steakholder penyelenggara pendidikan dengan melakukan evaluasi ulang dari awal kebijakan POP secara good governance.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement