Ahad 02 Aug 2020 03:42 WIB

Banyak PR Pascapenangkapan Djoko Tjandra

Penangkapan Djoko Tjandra bukanlah sebuah prestasi.

Bayu Hermawan
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Hermawan*

Hampir sepanjang bulan Juli lalu, masyarakat Indonesia disuguhkan cerita soal perburuan Djoko Tjandra, Buron korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali. Bak cerita-cerita di film, skandal-skandal terkait perlarian Djoko Tjandra diungkap ke publik. Puncaknya pada Kamis (30/7) lalu, Djoko Tjandra ditangkap di Malaysia dan akhirnya dibawa pulang ke Indonesia. Ibarat mata koin, penangkapan Djoko Tjandra menuai apresiasi namun ada juga tidak.

Jika berita-berita soal Djoko Tjandra tidak gencar dipublikasikan dalam sebulan terakhir, mungkin masyarakat Indonesia sudah banyak yang lupa dengan kasus yang menjeratnya. Sedikit kilas balik, Djoko Soegiarto Tjandra alias Joe Chan terlibat dalam kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali. Kasus ini mencuat pada tahun 1999 silam, dan Djoko Djadra mulai diselidiki oleh Polri serta Kejaksaan Agung. Djoko Tjandra juga pernah merasakan sel tahanan pada September 1999.

Pada tahun 2000, Djoko Tjandra didakwa melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara Rp904 miliar. Namun, saat itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan tidak menerima dakwaan jaksa, dengan alasan soal pengalihan hak tagih bukan perbuatan pidana melainkan perdata. Djoko Tjandra lolos dari jerat hukum.

Kemudian, Jaksa Penutut Umum mengajukan perlawanan ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, yang kemudian hal itu diterima dan pemeriksaan perkara Djoko Tjandra dilanjutkan. Tetapi kembali Djoko Tjandra lolos dari tuntutan hukum, dengan alasan yang sama. Selanjutnya Jaksa Agung, yang kala itu dijabat oleh Marzuki Darusman kemudian mengajukan kasasi, namun majelis hakim menolak kasasi Kejaksaan Agung.

Upaya hukum terhadap Djoko Tjandra berlanjut dengan diajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan kasasi MA pada tahun 2008. Akhirnya, majelis kasasi MA menjatuhkan hukuman vonis 2 tahun penjara untuk Djoko Tjandra. Namun apa yang terjadi, diduga karena putusan MA sudah bocor terlebih dulu, Djoko Tjandra punya kesempatan kabur ke luar negeri sebelum dieksekusi.

Kabar menyebutkan, Djoko Tjandra kabur ke Papua Nugini dan menjadi warga negara disana sejak Juni 2012. Sejak itu, nyaris tidak terdengar lagi upaya-upaya aparat hukum dalam memburu Djoko Tjandra.

Nama Djoko Tjandra mulai ramai menghiasi pemberitaan di media massa ketika Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, saat menggelar rapat kerja bersama Komisi III DPR pada akhir Juni lalu, menyebut jika buronan itu sempat berada di Indonesia. Sejak itu, skandal-skandal terkait perlarian Djoko Tjandra terkuat. Mulai dari keberhasilan Djoko Tjandra membuat KTP elektronik untuk kepentingan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke PN Jaksel, adanya Jenderal-Jenderal di Polri yang membantu Djoko Tjandra keluar masuk Indonesia, dihapusnya Red Notice Interpol atas nama yang bersangkutan, hingga adanya Jaksa yang sering bertemu dengan Djoko Tjandra.

Bak film, deretan skandal-skandal yang muncul dalam satu bulan terakhir, ditutup dengan adegan Djoko Tjandra akhirnya ditangkap di Malaysia pada Kamis lalu, dan kini telah berada kembali di Indonesia. Seperti biasa, di setiap peristiwa ada euforia namun ada juga yang 'nyinyir'. Ada yang mengapresiasi dan memuji kerja aparat hukum, ada juga yang menilai biasa saja, dan bahkan punya pemikiran-pemikiran konspiratif dan kecurigaan atas ditangkapnya Djoko Tjandra yang menjadi buronan sejak belasan tahun itu.

Terlepas itu, dari penangkapan buronan Djoko Tjandra ada beberapa hal yang bisa dipetik. Pertama, ternyata jika aparat penegak hukum di Indonesia serius dan bersungguh-sungguh, rasanya tidak ada kasus, skandal yang tidak bisa diungkap dan tidak ada pelaku kejahatan yang bisa lolos. Contoh, Djoko Tjandra, sebulan setelah gonjang-ganjing skandalnya muncul, Polri bisa menangkap tanpa perlu menunggu diaktifkannya tim pemburu koruptor.  Artinya, yang dibutuhkan adalah bagaimana memperkuat sinergi antara aparat penegak hukum, khususnya Polri, Kejakgung dan KPK. Jika sinergi kuat, maka buronan-buronan lain, seperti Harun Masiku misalnya, juga bisa ditangkap.

Selanjutnya, meski patut diapresiasi, namun aparat penegak hukum jangan tenggelam dalam puja-puji berhasil menangkap Djoko Tjandra. Sebab, secara pribadi, menurut saya penangkapan Djoko Tjandra bukan prestasi. Justru aparat penegak hukum harus bercermin dan mengevaluasi, mengapa harus sampai bertahun-tahun menyelesaikan 'PR'. Mengapa, sampai bertahun-tahun bisa dipermainkan oleh seorang Djoko Tjandra. Harapannya, setelah berhasil menangkap Djoko Tjandra, seluruh aparat penegak hukum semakin bersemangat, trengginas dalam menyikat dan menangkap koruptor.

Dan yang paling penting adalah, aparat hukum harus mampu mengungkap dan mengusut tuntas skandal-skandal terkait buronan Djoko Tjandra di institusinya masing-masing. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan pascaditangkapnya buronan itu. Polri punya utang untuk mengungkap skandal surat jalan yang diterbitkan salah satu jenderalnya untuk Djoko Tjandra. Polri jangan berhenti dengan menetapkan satu tersangka dalam skandal itu, dan percaya begitu saja jika pelaku membantu Djoko Tjandra hanya karena merasa ingin menolong. Usut tuntas apa yang diberikan oleh Djoko Tjandra untuk oknum-oknum yang membantu menerbitkan surat jalan. Begitu juga dengan pencoretan nama Djoko Tjandra dari red notice interpol, yang hingga kini belum terlalu terdengar kelanjutannya. Ini juga harus diusut tuntas, karena bahaya sekali bisa mencoret nama buronan dari daftar itu.

Begitu juga di Kejaksaan Agung, Lembaga ini masih punya pekerjaan rumah untuk mengusut tuntas siapa-siapa oknum di institusi itu yang memberikan kemudahan untuk Djoko Tjandra. Pencopotan Jaksa Pinangki Sirna Malasari, rasanya belum cukup. Kejakgung harus bisa memanfaatkan Pinangki untuk bersih-bersih lembaganya. Bahkan, aparat hukum juga harus bisa memanfaatkan Djoko Tjandra untuk membongkar segala skandal, mulai dari bagaimana dirinya bisa lolos tahun 2009 lalu, siapa saja yang selama ini memberikan 'karpet merah' untuk dirinya hingga skandal-skandal yang baru muncul. Dengan begitu, baru masyarakat bisa menilai apa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum adalah sebuah prestasi besar.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement