Kamis 30 Jul 2020 09:48 WIB

Posisi Sunnah di Hadapan Alquran Menurut Ibnul Qayyim

Sunnah tak pernah menyelisihi Alquran

Rep: Ali Yusuf/ Red: A.Syalaby Ichsan
Membaca Alquran (ilustrasi)
Foto: republika
Membaca Alquran (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Ibnul Qayyim menjelaskan wajibnya mengikuti sunnah walaupun sunnah tersebut membawa hukum yang belum ada di dalam Alquran. Atas hal ini Ibnul Qayyim membaginya kepada tiga  dengan menyertakan contoh untuknya."Posisi sunnah di hadapan Alquran memiliki tiga bentuk," kata dia. 

Pertama sunnah sesuai dengan Alquran dari segala Sisi. Maka, kesepakatan sunnah dengan Alquran dalam suatu hukum tertentu merupakan bentuk dari kesepakatan dalil-dalil yang saling menopang antara satu dengan yang lainnya.

Maksudnya kata Ibnul Qayyim seperti ditulis Syekh Manan Al-Kathathan dalam kitabnya Tarikh Tasyri bahwa suatu hukum memiliki dua dalil, yaitu dalil Alquran dan dalil dari sunnah.  Contohnya adalah perintah untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadan, haji ke Baitullah begitu juga larangan dari menyekutukan Allah, kesaksian palsu  durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa tanpa alasan yang benar. "Dan contoh-contoh lainnya yang masuk dalam katagori perintah atau larangan yang disebut bersamaan di dalam Alquran dan sunnah," katanya.

Kedua sunnah menjadi penjelas hukum yang terdapat di dalam Alquran serta menafsirkannya. Yang termasuk dalam bagian ini adalah sunnah-sunnah yang merincikan tata cara pelaksanaan shalat, penunaian zakat, puasa Ramadan, haji ke Baitullah, begitu juga sunnah-sunnah yang menjelaskan seputar hukum transaksi jual beli yang benar dan yang keliru, serta macam-macam riba yang diharamkan. "Begitu juga dengan sunah-sunah lainnya yang menjelaskan hukum-hukum Alquran yang bersifat global, mutlak, dan umum," katanya.

Ketiga sudah mewajibkan atau mengharamkan sesuatu yang belum dijelaskan kewajibannya atau keharamannya di dalam Alquran. Maksudnya adalah ia mendatangkan hukum yang tidak disebutkan di dalam Alquran.

Di antara contoh untuk hal ini adalah haramnya mengumpulkan seorang wanita dan bibinya dari jalur bapak maupun ibunya dalam satu ikatan pernikahan. Haramnya setiap hewan yang memiliki taring dan kuku (yaitu kuku yang digunakan untuk membunuh lawannya), dan haramnya menggunakan sutra dan cincin emas bagi laki-laki.

Ibnul Qayyim memastikan, sunnah tidak keluar dari tiga bentuk itu. Karena sunnah tidak sedikitpun menyelisihi Alquran. Sunnah merupakan suatu hukum tambahan yang ia datangkan dimana ia belum pernah disebut di dalam Alquran adalah syariat baru nabi yang wajib ditaati dan tidak boleh mengingkarinya.

Hal ini kata Ibnul Qayyim bukan bertujuan mengedepankan sunnah atas Alquran, tetapi ini adalah realisasi atas perintah Allah untuk mentaati Rasul-Nya. Karena jika Rasulullah SAW tidak ditaati pada sisi ini, maka ketaatan kepadanya tidak memiliki arti."Bahkan ketaatan yang dikhususkan kepada beliau pun nantinya tiada," katanya.

Oleh karena itu, tidak mungkin bagi siapapun dari kalangan ulama, untuk menolak hadist yang membawa hukum di luar hukum yang terdapat di dalam Alquran, seperti menolak hadis yang menjelaskan haramnya mengumpulkan wanita dengan bibinya dari jalur ayah maupun ibu dalam satu ikatan pernikahan atau hadis yang menjelaskan haramnya menikah dengan wanita atau pun pria karena persesuan sebagaimana haramnya menikah karena nasab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement