Rabu 29 Jul 2020 22:43 WIB

RUU Ciptaker Dinilai Bisa Jadi Jaring Pengaman buat Pekerja

penyamarataan upah minimum dalam RUU Cipta Kerja hanya untuk karyawan baru

Massa buruh yang tergabung dari sejumlah serikat pekerja berunjuk rasa di depan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (28/7). Unjuk rasa tersebut untuk menolak gugatan Pembatalan SK UMK Tahun 2020 yang diajukan Apindo Jawa Barat, mencabut huruf D diktum ketujuh SK UMK Tahun 2020, Menolak Omninus Law RUU Cipta Kerja, menerbitkan SK UMSK Kabupaten atau Kota Tahun 2020 dan menolak UU TAPERA. Foto: Abdan Syakura/Republika
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Massa buruh yang tergabung dari sejumlah serikat pekerja berunjuk rasa di depan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (28/7). Unjuk rasa tersebut untuk menolak gugatan Pembatalan SK UMK Tahun 2020 yang diajukan Apindo Jawa Barat, mencabut huruf D diktum ketujuh SK UMK Tahun 2020, Menolak Omninus Law RUU Cipta Kerja, menerbitkan SK UMSK Kabupaten atau Kota Tahun 2020 dan menolak UU TAPERA. Foto: Abdan Syakura/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Upah Minimum Regional dan Provinsi menjadi salah satu topik hangat yang dibahas dalam Rancangan Undang Undang Cipta Kerja. Pasalnya isu ini menjadi sangat krusial karena mempengaruhi hajat hidup para buruh dan pekerja di Indonesia, terutama bagi karyawan baru.

Demikian intisari dari diskusi publik bertajuk “Nasib RUU Cipta Kerja dan Upah Miimum Regional” yang diselenggarakan oleh Institute for Digital Democracy (IDD) di Jakarta. Dalam diskusi ini hadir Direktur Eksekutif IDD, Bambang Arianto.

Bambang mengatakan hingga saat ini masih banyak isu beredar mengenai hilangnya upah minimum bagi para pekerja dalam RUU Cipta Kerja. “Untuk pembahasan upah minimum, memang harus diakui ada sedikit revisi. Tapi itu tidak menjadi serta merta revisi ini menguntungkan pihak investor apalagi kaum kapitalis,” katanya.

Bambang menjelaskan bahwa penyamarataan upah minimum dalam RUU Cipta Kerja hanya untuk karyawan baru yang masa kerjanya 1-12 bulan pertama. Bukan untuk semua karyawan, apalagi karyawan lama.

“Karena karyawan baru itu kan masih masuk dalam masa training dan pemantauan biasanya. Biasanya, perusahaan memiliki SOP yang mengevaluasi para karyawan baru ini,” katanya.

Persoalannya, bagaimana agar tidak terjadi pemecatan secara semena-mena oleh perusahaan terhadap karyawan baru berdasarkan evaluasi sepihak dari perusahaan? Menurut Bambang, untuk mengantisipasi itu maka perlu ada aturan sebagai jaring pengaman bagi para buruh

“Untuk itulah, kita minta agar kasus pemecatan karyawan atau tidak diberikannya pesangon bagi karyawan baru harus juga dipikirkan oleh pemerintah. Maka, saya pikir peran RUU Cipta Kerja bisa menjadi jaring pengaman bagi para pekerja baru agar mereka diberikan jaminan gaji atau upah minimum yang sepantasnya selama 12 bulan pertama, ”jelas Bambang.

Dengan demikian, menurut peneliti LPPM Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta ini,  bagi para pekerja baru, meskipun performace-nya jelek, perusahaan tentu tidak boleh semena-mena untuk menurunkan gajinya.

“Tapi, ada yang mengatakan, upah minimum kecil dan di bawah standar? Kalau soal besar kecilnya jumlah upah minimun itu akan dikorelasikan dengan pendapatan perkapita provinsi dan tentu juga disesuaikan dengan kemampuan perusahaan masing-masing,” katanya.

Bambang mengatakan bahwa dalam RUU Cipta Kerja ada ketentuan yang meminta perusahaan untuk bisa memberikan standar atau jaring pengaman perihal besaran upah minimum bagi karyawan baru melalui upah minimum provinsi.

Tapi, apakah selamanya gaji karyawan baru akan sebesar itu?  “Tentu tidak. Dikarenakan karyawan baru yang memasuki usia bekerja pada bulan ke-13 harus diberikan upah minimun regional yang sama dengan karyawan lainnya,” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement