Selasa 28 Jul 2020 21:24 WIB

Galian Artefak Kuno Israel dan Sanggahan Para Rabi Yahudi

Klaim hasil penggalian Israel mendapat sanggahan para rabi Yahudi.

REPUBLIKA.CO.ID, Seperti ditulis Michael D Lemonick dalam laporan utama Time Desember 1996 lalu, penggalian situs kuno di Israel memang sering menimbulkan kegelisahan di kalangan para arkelognya. Interpretasi mereka sering menjadi sasaran kecaman para rahib karena dianggap tidak mempedulikan apa yang dikatakan Kitab Suci.

Bagi para rahib itu, kebenaran cerita Kitab Suci adalah final dan tidak membutuhkan bukti arkeologis. Itu sebabnya, seperti yang terjadi November 1993 lalu, mereka menolak adanya temuan 23 peti kuburan kuno yang diduga berisi tulang-tulang sebuah keluarga Yahudi Makabi, dengan alasan bahwa penggalian tulang-tulang manusia dianggap melanggar hukum Taurat. 

Di kalangan arkeolog sendiri bukannya tidak terjadi perdebatan. Sebagian mereka beranggapan bahwa meskipun sebagian besar detail cerita Kitab Suci itu dianggap meragukan, namun mereka percaya cerita-cerita lainnya harus diyakini kebenarannya. Mereka percaya misalnya bahwa sementara tokoh-tokoh yang digambarkan pada bagian terakhir Perjanjian Lama dan sebagian besar tokoh-tokoh dalam Perjanjian Baru bersifat rekaan dan karenanya meragukan, banyak cerita lain, misalnya mengenai kerajaan Nabi Sulaiman atau peristiwa Eksodusnya Musa dan pengikutnya, benar-benar faktual. 

Sementara itu kalangan arkeolog lainnya benar-benar memperlakukan temuan-temuan itu sama sekali di luar rujukan Kitab Suci. Titik pijak mereka pada dasarnya bersifat atheistik. Singkatnya, di kalangan para arkeolog sendiri, terdapat dua kubu: maksimalis di satu pihak, dan minimalis atau nihilis di piahk lain. Kalangan maksimalis menganggap Bibel merupakan panduan yang absah untuk riset arkeologis. 

Sementara kaum minimalis atau nihilis menganggapnya semata-mata sebagai dokumen keagamaan yang tidak bisa dibaca dengan pertimbangan objektifg macam apapun. Kendatipun demikian, di di antara kedua kubu itu terdapat kalangan arkeolog yang berdiri di tengah-tengah keduanya. ''Jika Bibel memang tidak terbukti historis, maka ia memang tidak bisa diperlakukan historis'', kata kalangan ini. 

Serangkaian bukti-bukti penemuan arkeologis secara tak terbantah memang membuktikan bahwa sebagian, untuk tidak mengatakan semua, cerita Kitab Suci didasarkan pada masyarakat atau peristiwa yang benar-benar riil. Pada 1990, sejumlah peneliti dari Harvard yang mengadakan eksplorasi di Ashkelon, sebuah kota tua di sebelah utara Jalur Gaza, menemukan sekeping perungu berlapis perak yang dianggap sebagai potongan anak-sapi-emas yang disembah pengikut Musa. 

Sementara itu pada 1986, para arkeolog lain menemukan teks Bibel paling tua yang diperkirakan sudah ada pada tahun 600 sebelum Masehi (SM). Ini membuktikan bahwa setidak-tidaknya sebagian naskah Perjanjian Lama sudah ditulis segera setelah peristiwa yang diceritakannya terjadi. Juga pada tahun itu ditemukan sebuah segel (seal) yang diduga milik Baruch, anak Neriah, sebuah tulisan yang merekam nubuat Jeremiah pada 587 SM seperti yang digambarkan Perjanjian Lama. 

Yang terpenting dan paling monumental adalah penemuan pada 1993 mengenai sebuah inskripsi kuno abad ke-9 SM di sebuah gundukan yang disebut Tel Dan di sebelah utara Israel. Kata-kata yang terekam dalam sebongkah basalnya tertulis ''Rumah Daud'' dan ''Raja Israel''. Inilah untuk pertama kalinya nama kerajaan Israel itu ditemukan di luar Bibel. 

Penemuan ini membuktikan bahwa ''kerajaan Israel'' memang bukan sekadar legenda. Lebih dari itu, inskripsi-inskripsi lain yang ditemukan di Mesir dan Syria juga membuktikan faktualitas sejarah Israiliyat ini. Kendati demikian, harus diakui bahwa banyak cerita Bibel lainnya hingga sekarang belum terbuktikan secara arkeologis. 

Mungkin karena fakta ini para arkeolog, terutama dari kalangan minimalis dan nihilis, menganggap kisah-kisah Ibrahim, Ishak, dan Yaqub, Bapak Yudaisme, menurut para sarjana Bibel, sebagai kisah-kisah fiktif. Mereka juga tidak percaya adanya peristiwa Eksodus yang dipimpin Musa, juga cerita mengenai penaklukan Jericho dan ''Tanah yang Dijanjikan'' (Palestina) oleh Joshua. Dalam pandangan mereka, cerita-cerita ini merupakan fabrikasi (pemalsuan) yang disisipkan dalam Bibel beberapa abad kemudian.   

Arkeologi biblikal kini memang telah menjadi kegiatan yang bersifat ilmiah. Ia telah menjadi suatu disiplin tersendiri yang melahirkan cabang-cabang penelitian akademis baru. Salah satunya adalah topografi biblikal. Salah satu tokoh awalnya, Edward Robinson, seorang orientalis di Seminari Teologi Union New York City, pernah mengunjungi Palestina pada 1837 hingga 1852 untuk mengidentifikasi ratusan tempat yang namanya sama dengan yang digunakan oleh Perjanjian Lama.

Dia menduga nama-nama itu memang merupakan nama-nama orisinal yang telah dipertahankan selama berabad-abad. Hasil penelitiannya itulah yang kini menjadi basis bagi pengembangan topografi biblikal yang lebih lengkap. Pengembangan arkeologi biblikal mendapatkan kemajuan berarti ketika William Foxwell Albright, guru besar bahasa Semit di Univeritas John Hopkin, menerapkan pendekatan yang lebih ilmiah terhadap kisah-kisah Bibel.

Lebih daripada sekadar menganggap Bibel sebagai dokumen akurat atau sekadar dongeng, ia berusaha mengembangkan sikap objektif dengan berusaha mengkonfirmasikan kisah-kisah Kitab Suci itu dengan bukti-bukti arkeologis yang independen.

Walaupun dia selalu siap untuk melihat Bibel terbukti salah terutama untuk hal-hal yang bersifat khusus dan rinci, ia percaya bahwa kisah-kisah itu akurat hingga terbukti sebaliknya. Salah satu temuannya yang dianggap mengada-ada oleh kalangan arkeolog nihilis adalah perkiraannya untuk mendata masa hidup Ibrahim, Ishaq, dan Yaqub pada sekitar 1800 SM. Dengan pembuktian fisis lingkungan yang sama, dia juga memperkirakan peristiwa eksodus terjadi pada pada sekitar tahun 1200 SM. Bagi Albright, sebagaimana bagi para arkeolog Yahudi seperti Yigael Yadin dan Avraham Biran, ''Perjanjian Lama adalah pemandu bagi kami. Ia merupakan sejarah otentik bangsa kami''. Mereka percaya betapa Bibel secara akurat memandu penelitian-penelitian arkeologis.  

Tetapi kritik bukannya tidak muncul dari arkeolog lain. Meskipun dari sesama Yahudi. John Woodhead, asisten direktur British School of Archeology di Jerusalem mengatakan bahwa Yadin telah menggunakan argumen sirkuler yang menyesatkan untuk membuktikan kebenaran Kitab Suci. Dalam pandangan Woodhead, ''Yadin menggunakan data untuk membuktikan ayat, dan ayat untuk membuktikan pertanggalan (dating) kota-kota itu'', katanya. Menurutnya, gerbang di ketiga kota itu tidak berasal dari masa yang sama. Gerbang Hazor mungkin memang berasal dari periode Sulaiman, tetapi ''Megiddo jelas lebih kemudian, begitu juga Hezer''.

Keyakinan yang berlebihan pada keterangan-keterangan Bibel memang terbukti sering menimbulkan inkonsistensi. Inkonsistensi inilah yang pada gilirannya menyebabkan munculnya gelombang skeptisisme baru di kalangan arkeolog. Ini misalnya marak pada pertemuan tahunan Society of Biblical Literature and American Academy of Religion, November 1993 lalu. Seorang minimalis radikal, John van Setter, dengan lantang mengatakan bahwa buku paling tua dalam Perjanjian Lama tidaklah ditulis hingga bangsa Israel dibuang ke Babilonia setelah tahun 587 SM.

Dengan demikian, itu berarti ''tidak ada Musa, tidak ada penyeberangan di Laut, tidak ada Eksodus, tidak ada wahyu di Gunung Sinai'', teriaknya. Ini karena tidak ada bukti yang mendukung semua itu. Mengejutkan? Tentu saja tidak, karena hampir sudah menjadi truisme dalam arkeologi, bahwa tidak adanya bukti bukanlah bukti mengenai ketidakadaan. 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement