Selasa 28 Jul 2020 04:57 WIB

Yang Diwariskan Amerika Serikat dari Agresi Irak 2003 Lalu

Amerika Serikat mewariskan kekacauan politik dan keamanan hingga sekarang.

Seorang polisi Irak berdiri di sisi truk-truk yang terbakar di lokasi serangan bom bunuh diri di sebuah stasiun pembangkit di Kota Samara, sekitar 120 km sebelah utara Baghdad, Irak, pada 2 September 2017.
Foto: EPA-EFE/BARAA KANAAN
Seorang polisi Irak berdiri di sisi truk-truk yang terbakar di lokasi serangan bom bunuh diri di sebuah stasiun pembangkit di Kota Samara, sekitar 120 km sebelah utara Baghdad, Irak, pada 2 September 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, Tak dapat dimungkiri bahwa serangan Amerika Serikat telah melumpuhkan Irak secara total, baik politik, ekonomi, maupun keamanan. Semenjak serangan tersebut, Irak belum bisa bangkit kembali walaupun telah mendapatkan banyak bantuan dari negara Barat.

Bahkan, menurut Diana Puspita dkk dalam Irak Pasca Invasi Amerika Serikat, keberadaan pasukan Amerika di negara tersebut dipandang semakin memperburuk situasi yang sudah telanjur porak poranda 

enurut Richard M Daulay dalam Amerika Vs Irak: Bahaya Politisasi Agama, setelah bertahun-tahun berjalan, Amerika tidak mampu mengubah Irak menjadi negara yang bebas, merdeka, dan demokratis. Hal yang terjadi justru serangan Amerika ke Irak menjadi kontraproduktif karena Amerika saat ini sedang mengalami penurunan kredibilitas.

Kondisi di Irak pun tidak seperti yang diharapkan. Apabila Saddam Hussein diganti, rakyat makin menikmati kebebasan dan kemakmuran. Sebaliknya, rakyat Irak semakin menderita akibat perang saudara yang berkecamuk.

Presiden Bush melakukan semua kebijakan politik luar negeri yang superkeras (hard power), tapi ternyata kontraproduktif dan menuai kecaman serta kebencian dari hampir seluruh penduduk dunia. Kendati Inggris, Australia, Jepang, Polandia, dan Korea Selatan mengirim pasukan sebagai bagian dalam pasukan koalisi pimpinan Amerika, rakyat di negara-negara tersebut sangat menentang perang Irak.

Liz Sly dalam "Egyptian revolution sparks protest movement in democratic Iraq" menyebutkan, kejahatan dan kekerasan awalnya melonjak dalam beberapa bulan setelah penarikan AS dari kota-kota pada pertengahan 2009.

Meskipun terjadi peningkatan awal dalam kekerasan, pada November 2009, para pejabat Irak, khususnya Kementerian Dalam Negeri, melaporkan bahwa korban tewas sipil di Irak telah mengalami penurunan sejak invasi 2003.

Menyusul penarikan pasukan AS pada 2011, pemberontakan terus terjadi dan Irak menderita ketidakstabilan politik. Pada Februari 2011, protes Musim Semi Arab menyebar ke Irak, tetapi protes awal tidak menggulingkan pemerintah.

Gerakan Nasional Irak, dilaporkan mewakili mayoritas Suni Irak, memboikot parlemen selama beberapa pekan pada akhir 2011 dan awal 2012, mengklaim bahwa pemerintah yang didominasi Syiah itu berusaha untuk mengesampingkan Sunni.

Pada 2012 dan 2013, tingkat kekerasan meningkat dan kelompok-kelompok bersenjata di Irak juga semakin banyak karena perang Suriah. Suni dan Syiah menyeberangi perbatasan untuk melawan Suriah. Pada Desember 2012, Arab Suni memprotes pemerintah yang diklaim berusaha untuk menyingkirkan mereka.

Selama 2013, kelompok militan Suni meningkatkan serangan yang menargetkan populasi Syiah Irak dalam upaya untuk merusak kepercayaan dalam pemerintahan yang dipimpin Nouri al-Maliki.

Setelah kurang lebih 35 tahun menghadapi kediktatoran Saddam Hussein, nyatanya masyarakat Irak tetap saja hidup menderita dan tidak aman walaupun demokrasi telah ditegakkan di Negeri Seribu Satu Malam ini.

Menurut Institusi Kepemimpinan Internasional PBB, sebanyak 84 persen institusi perguruan tinggi Irak telah hancur dibakar dan dijarah. Eksistensi bersejarah Irak sebagai satu bangsa berdaulat hancur. Di sana terjadi penjarahan museum-museum arkeologis dan situs-situs bersejarahnya, perpustakaan, serta gedung arsip.

photo
Suasana Kota Baghdad, Irak- ( EPA-EFE/AHMED JALIL)

James Petras dalam The Power Of Israel In USA menjelaskan, perlakuan kekerasan di tempat-tempat keramat juga terjadi. Warga Irak dihina dengan cara penyiksaan, hukuman bersama, dan penganiayaan seksual.

Semua itu dirancang untuk menghancurkan identitas bersejarah negara tersebut sebagai salah satu bangsa Arab. Serangan terhadap infrastruktur Irak secara fisik dan institusional telah ditunggangi dengan serangan yang bertujuan membangun kembali semua yang telah dihancurkan.

Diana Puspita melanjutkan, dahulu saat Saddam Hussein berkuasa, walaupun ia memimpin secara otoriter, pada kenyataannya jika dibandingkan dengan situasi sekarang di mana konflik etnis meletus di mana-mana dan pembasmian terhadap anggota partai-partai sangat marak, dia dapat dikatakan berhasil menstabilkan keadaan Irak di ranah domestik.

Pada masa Saddam Hussein berkuasa, jarang sekali terdengar konflik yang bernuansa kekerasan. Perbedaan etnis dan mazhab yang plural dulu tidak lantas memicu timbulnya konflik atau bahkan perang antaretnis yang besar. Namun, setelah rezim Saddam Hussein runtuh, banyak sekali muncul konflik-konflik antaretnis dan golongan agama.

Perubahan sosial yang muncul sebagai dampak dari invasi Amerika pada masyarakat Irak, salah satunya adalah adanya kekhawatiran meletusnya perang saudara di antara penduduk Irak sendiri, khususnya antara pendukung setia Saddam dan kelompok yang kontra terhadapnya.

Seperti diketahui bahwa masyarakat Irak terbagi ke dalam dua bagian besar kelompok dilihat dari sikap mereka terhadap Saddam Husein, kelompok utama dari para pendukung atau pengikut Partai Baath, sebuah partai terbesar sebagai wadah politik Saddam semasa pemerintahannya, dan kelompok kedua kontra yang umumnya dari orang-orang yang bermazhab Syiah di Irak. Karena, Saddam dinilai diktator dan bertindak sewenang-wenang terhadap para pengikut Syiah di negerinya.

Setelah berakhirnya invasi Amerika Serikat, walaupun tentara NATO dan Amerika Serikat masih tinggal dan bercokol di Irak, dan situasi pemerintahan di Irak sudah dilakukan berbagai macam perubahan, baik pemerintahan sipil maupun militer, konflik internal antara golongan Suni dan Syiah masih berlanjut.

Keruntuhan Saddam Hussein telah membawa Irak pada kondisi yang tidak stabil karena tidak adanya satu kekuatan besar yang bisa mengontrol sekte atau etnis yang ada di Irak sehingga masyarakat akan selalu cenderung untuk memperebutkan kekuasaan. 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement