Selasa 28 Jul 2020 03:30 WIB

Intelijen China Gunakan LinkedIn untuk Mencari Target

Para intel China menggunakan modus iklan pekerjaan online palsu.

Rep: Febryan A/ Red: Nidia Zuraya
LinkedIn. Intelijen China memanfaatkan situs jejaring profesional LinkedIn.
Foto: EPA
LinkedIn. Intelijen China memanfaatkan situs jejaring profesional LinkedIn.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ketegangan hubungan antara China dan Amerika Serikat (AS) meningkat, Jun Wei Yeo mengaku di pengadilan AS sebagai 'agen ilegal kekuatan asing'. Pria 39 tahun itu pun divonis 10 tahun penjara.

Jun Wei Yeo atau dikenal sebagai Dickson Yeo adalah warga negara Singapura. Ia merupakan mahasiswa doktoral Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew Singapura (LKYSPP) dengan riset disertasi tentang kebijakan politik luar negeri China.

Baca Juga

Melansir BBC, Senin (27/7), Yeo diketahui mulai menjalin kontak dengan intelijen China pada 2015 silam dan tak lama berselang ia direkrut menjadi agen. Ia diminta menyediakan informasi tentang Departemen Perdagangan AS, perang dagang China-AS, dan soal artificial intelligence.

Untuk menyukseskan aksi spionasenya, Yeo menggunakan sebuah perusahaan konsultan palsu. Ia juga berlindung di balik statusnya sebagai akademisi. Sedangkan untuk menari target, ia memanfaatkan situs jejaring profesional LinkedIn.

Yeo membuat kontak krusialnya lewat situs LinkedIn, yang sejauh ini telah digunakan lebih dari 700 juta orang. Para pengguna LinkedIn memang sangat terbuka menjelaskan dirinya di situs tersebut.

Mantan pegawai, kontraktor pemerintah dan militer tidak malu mengunggah secara detail rincian sejarah pekerjaan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang menguntungkan di sektor swasta.

Berdasarkan dokumen persidangannya, beberapa target yang ditemukan Yeo di LinkedIn diminta menulis laporan untuk perusahaan konsultannya. Perusahaan palsu ini diberi nama sama dengan perusahaan konsultan terkemuka di AS. Setelah mendapat laporan itu, ia mengirimkannya ke agen kontaknya di China.

Mereka yang dihubungi Yeo salah satunya adalah seseorang yang bekerja pada program jet tempur F-35 Angkatan Udara AS yang sedang terlilit masalah keuangan.

Ada pula seorang perwira militer AS yang bertugas di Pentagon. Ia dibayar setidaknya 2.000 dolar AS (sekitar Rp 29 juta) untuk menulis laporan tentang dampak penarikan pasukan AS dari Afghanistan terhadap China.

Dalam menemukan kontak seperti itu, Yeo, yang berbasis di Washington DC pada sebagian 2019, dibantu oleh sekutu tak terlihatnya, yakni algoritma LinkedIn. Setiap kali Yeo melihat profil seseorang yang cocok dengan kebutuhan spionasenya, lalu algoritma akan menyarankan kontak baru dengan jejak pengalaman serupa.

Menurut dokumen pengadilan, kontak Yeo di China memang memintanya mencari target yang sedang 'tidak puas dengan pekerjaan' atau 'mengalami masalah keuangan'.

William Nguyen, warga AS yang dikeluarkan dari sekolah Lee Kuan Yew dan ditangkap saat aksi protes di Vietnam pada tahun 2018 lalu kemudian dideportasi, mengaku pernah dikontak oleh Yeo. Dalam unggahan Facebook-nya pada Sabtu, Nguyen mengaku "beberapa kali" dibubungi Yeo setelah ia dibebaskan dari penjara dan kasusnya menjadi sorotan dunia.

Pada tahun 2018, Yeo juga mengunggah iklan pekerjaan online palsu untuk perusahaan konsultannya. Dia mengatakan kepada penyelidik bahwa dirinya menerima lebih dari 400 CV dengan 90 persen di antaranya berasal dari 'personel militer dan pemerintah AS dengan izin keamanan'. Beberapa CV itu ia serahkan kepada kontaknya di China.

Menurut penulis bersama buku Komunis China Espionage: An Intelligence Primer, penggunaan LinkedIn memang kurang ajar, tapi hal itu tak mengejutkan.

"Saya pikir banyak agen intelijen dunia mungkin menggunakannya untuk mencari sumber informasi. Karena itu adalah kepentingan semua orang yang ada di LinkedIn untuk menaruh seluruh karier mereka di sana guna dilihat semua orang-- ini adalah alat yang sangat berharga dalam tindakan intelijen," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement