Anggota Komisi X Nilai Kebijakan Nadiem Bikin Gaduh

Ali Zamroni menilai beragam kebijakan Menteri Nadiem harus dievaluasi

Senin , 27 Jul 2020, 14:24 WIB
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim.  Anggota Komisi X DPR Ali Zamroni menilai kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim membuat gaduh selama pandemi Covid-19. Khususnya, setelah Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dan PGRI tarik diri dari Program Organisasi Penggerak (POP).
Foto: Kemendikbud RI
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. Anggota Komisi X DPR Ali Zamroni menilai kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim membuat gaduh selama pandemi Covid-19. Khususnya, setelah Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dan PGRI tarik diri dari Program Organisasi Penggerak (POP).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR Ali Zamroni menilai kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim membuat gaduh selama pandemi Covid-19. Khususnya, setelah Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dan PGRI tarik diri dari Program Organisasi Penggerak (POP).

"Kita telah ketahui betapa ketiga organisasi ini berkontribusi membangun dunia pendidikan di indonesia sejak lama dan informasi bahwa tidak Lolosnya beberapa organisasi yang sudah layak seperti Muslimat NU, Aisyiyah, IGNU dan lain lain," ujar Ali berdasarkan rilis yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Senin (27/7).

Menurutnya, seharusnya Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation yang mundur dari program tersebut. Sebab, keduanya diketahui merupakan organisasi corporate social responsbility (CSR).

"Semestinya yang malu dan mengundurkan diri dari program ini yaitu Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation bukan NU Muhammadiyah dan PGRI," ujar Ali. Ia memang melihat, sejumlah kebijakan dari Nadiem menimbulkan perdebatan.

Beberapa di antaranya, penghapusan Nomenklatur Pendidikan Masyarakat dan Kesetaraan dan Kebijakan Pemotongan anggaran tunjangan profesi guru di satuan pendidikan kerjasama (SPK).

"Menteri Nadiem dan para pejabat di lingkungan Kemendikbud RI harus di evaluasi karena pendidikan itu harus bebas dari segala kepentingan," ujar Ali.

Meski begitu, ia mengapresiasi POP yang bermanfaat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Ali meminta agar badan independen yang melakukan seleksi kepada organisasi dalam POP tersebut bersikap transparan, mengenai proses dan hasil seleksi terhadap organisasi yang lolos.

"Sebaiknya hasil penilaian ini diberitahukan pada peserta untuk perbaikan ke depannya. Organisasi yang tak lolos, harus diberitahu kenapa tidak lolos, apa sebabnya, kekurangannya apa," ujar Ali.