Senin 27 Jul 2020 05:15 WIB

PJJ: Jauh di Mata, Dekat di Hati

Peran guru bisa bertransformasi dari sumber pengetahuan, menjadi sumber kenyamanan.

Teacher Upskiling Leaders Zenius Education, Angelia Iyenk
Foto: Dok Pribadi
Teacher Upskiling Leaders Zenius Education, Angelia Iyenk

Oleh: Angelia Iyenk*)

REPUBLIKA.CO.ID, Maret 2020 pantas dicatat dalam sejarah Indonesia. Bagaimana tidak, setelah beberapa bulan masyarakat Indonesia merasa 'kebal' Covid-19, Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus 1 dan 2 ditemukan di sekitar Ibu Kota yaitu di Kota Depok.

Sejak saat itu hingga sekarang, Covid-19 bagaikan kotak Pandora; sekali dibuka, terus memuntahkan musibah. Pemerintah pun mengambil berbagai langkah darurat dan salah satunya adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar, dimana artinya warga tidak lagi leluasa bepergian, termasuk bekerja dan bersekolah.

Tiba-tiba, semua kegiatan harian kita dimaknai berbeda. Bersekolah yang tadinya melibatkan perjuangan membelah macet dan berbagi ruang dengan teman sekelas, sekarang dapat dilakukan hanya dengan beringsut dari kasur ke meja belajar dan sekali pencet tombol komputer. Tapi benarkah sesederhana itu?

Konsep belajar yang selama ini dianggap sama saja dengan bersekolah tiba-tiba bergeser jauh. Bangunan sekolah tidak lagi dipakai, guru tidak lagi dengan mudah menghukum peserta didiknya jika mereka tertidur di tengah penjelasan guru, tidak bisa pula memastikan peserta didiknya tidak mencontek saat ulangan.

Praktisi pendidikan yang selama ini terlena dengan pertemuan tatap muka di sekolah, bulat-bulat memindahkan semua kegiatan ke aplikasi video conference dan membanjiri peserta didik dengan tugas. Mereka juga harus mengakui, sumber pengetahuan peserta didiknya bukan lagi mereka, melainkan internet yang maha tahu.

Perjuangan adaptasi tidak berhenti sampai di situ. Jika peserta didik di perkotaan menjerit karena waktu mereka di depan layar terlalu lama, guru dan peserta didik yang tidak berlimpah koneksi internet, harus memutar otak untuk bisa tetap belajar. Internet menjadi kebutuhan pokok, mengalahkan nasi.

Di Papua misalnya, guru mengajar melalui siaran RRI dan materi ajar dicetak dan dibagikan ke murid dari rumah ke rumah. Belum lagi peserta didik usia muda yang menjadi sangat bergantung ke orang tuanya untuk mengikuti pembelajaran.

Orang tua pun mulai kewalahan. Karena selain harus berbagi ruang produktif dengan anak, juga harus menjalani peran rangkap sebagai orang tua, guru dan pegawai (bagi mereka yang bekerja). Di tengah rasa bosan terkungkung di rumah dan rindu teman, gempuran tugas dari guru terasa menghimpit. Belajar di rumah tidak lagi menyenangkan.

 
Belajar di rumah tidak lagi menyenangkan

Lompat ke 2 Juli 2020, 4 bulan setelah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dilaksanakan, tergulir gagasan untuk membuat permanen Pembelajaran Jarak Jauh, baik pandemi maupun tidak. Panik tentunya menjadi reaksi yang sangat wajar saat mendengar gagasan tersebut. Menuntun anak belajar dari rumah empat bulan saja rasanya kepala sudah mau meledak, apalagi kalau selama-lamanya. Serasa ingin mengundurkan diri dari jabatan orang tua saja.

Untung saja tak lama kemudian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengklarifikasi pernyataannya bahwa yang dipermanenkan adalah sarana teknologi dan informasinya, bukan metode belajar jarak jauhnya. Pembelajaran yang memadukan metode tatap muka dan sarana teknologi, perlu dilanjutkan demi mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan inovatif dalam menyambut revolusi industri 4.0.

Jika kita telusuri, pemerintah melalui TVRI dan situs Kemendikbud memang menyediakan materi ajar disertai dengan rekomendasi sarana teknologi yang dapat difungsikan untuk PJJ. Namun bagaimana pembelajaran kombinasi tatap muka dan sarana teknologi ini akan dilaksanakan? Bukankah 10 tahun belakangan ini pendidikan memang tidak terlepas dari teknologi? Apakah pengurangan hari bersekolah akan dilakukan? Tapi kan belajar harusnya di sekolah? 5 hari sepekan? Oh ya? Masa?

Pada jenjang pendidikan tingkat lanjut, Indonesia telah mengenal konsep PJJ sejak tahun 1985, saat Universitas Terbuka (UT) didirikan. UT menjalankan pembelajarannya dengan minimal tatap muka, dimana mahasiswa mempelajari materi dalam bentuk cetak maupun elektronik. Selain itu, tidak ada batasan umur bagi mahasiswa UT.

Indonesia juga telah menerapkan konsep belajar jarak jauh untuk pendidikan tingkat rendah, yaitu Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). PKBM menyediakan pembelajaran bagi mereka yang ingin meniti pendidikan di jenjang SD, SMP dan SMA.

Sealiran dengan UT, metode belajar ini dilakukan minim tatap muka dan tidak ada batasan umur bagi peserta didiknya. Jadi jangan heran jika saat waktu ujian akhir tiba, terlihat orang dewasa yang mengikuti ujian untuk mendapatkan ijazah SD.

Peserta didik yang harus menuntut ilmu sambil mencari nafkah juga tidak perlu khawatir akan tertinggal pelajaran. Karena sistem belajar UT dan PKBM memang memungkinkan peserta didiknya untuk mengelola waktu dan prioritasnya sendiri dalam membagi peran antara menjadi pegawai dan pemelajar.

UT dan PKBM menjadi angin segar bagi mereka yang ingin memperbaiki taraf hidup. Karena memang hingga sekarang, ijazah merupakan salah satu syarat wajib (selain pengalaman) untuk melamar pekerjaan. UT dan PKBM adalah harapan.

Sayangnya UT dan PKBM selama ini bagaikan piranti porselen di rumah nenek; indah, namun hanya disimpan di lemari kaca. Saat harus melaksanakan PJJ, kita panik karena belum pernah melakukannya, melupakan harta berharga UT dan PKBM yang sebenarnya bisa menjadi 'soko guru' kita dalam praktek PJJ.

UT dan PKBM bisa menjadi 'soko guru' dalam PJJ

Alih-alih menghujani peserta didik dengan tugas dan menuntut peserta didik hadir sesuai jadwal pelajaran, guru sebenarnya punya pilihan untuk menjalankan PJJ dengan lebih bijaksana. Ceramah menjelaskan materi bisa diganti dengan membaca buku atau menonton video yang tersedia di internet. Daripada dituntut menjawab serentetan pertanyaan, peserta didik bisa diberi kesempatan untuk menulis pertanyaan tentang materi tersebut agar terbiasa berpikir kritis.

Jadwal pelajaran juga bisa ditiadakan dan sesi video conference dapat dilakukan di jam yang disepakati, sesuai dengan situasi peserta didik. Tatap muka bisa difungsikan sebagai sarana diskusi dan lepas kangen, bukan hanya hadir untuk mendengar ceramah.

PJJ juga merupakan kesempatan emas untuk peserta didik menekuni proyek pribadinya, dari mulai main gim komputer sampai rias wajah bisa dilakukan dan didokumentasikan, lalu guru membantu mencari relevansi proyek-proyek tersebut ke mata pelajaran yang diampu. Proyek pribadi juga menjadi solusi bagi mereka yang sulit mendapatkan koneksi internet.

Mumpung di rumah saja, ajak peserta didik mengamati sekitarnya untuk selanjutnya mencari tahu kontribusi apa yang bisa dia berikan bagi sekitarnya. Sudah waktunya peran guru bertransformasi dari sumber pengetahuan, menjadi sumber kenyamanan. Dari pengawas ujian, menjadi mitra belajar.

 
Sudah waktunya peran guru bertransformasi dari sumber pengetahuan, menjadi sumber kenyamanan

Di tengah kegamangan melaksanakan PJJ, mari kita lihat kembali esensi pendidikan. Membicarakan metode tentu penting, namun kembali ke awal kadang memberi kita arahan jelas dalam menggambar peta pendidikan.

Pada 18 Mei 2020, Kemendikbud melalui Surat Edaran menganjurkan penyelenggara pendidikan untuk mengutamakan kesehatan lahir batin para pelaku pendidikan dan pembelajaran harus berfokus pada kecakapan hidup. Pendidikan terdengar manusiawi dan welas asih di surat edaran ini. Alih-alih untuk mengejar kelulusan maupun nilai tinggi, pendidikan difokuskan untuk mempersiapkan peserta didik untuk cakap hidup.

Bicara tentang pendidikan, tidak mungkin untuk tidak mengutip pernyataan Ki Hadjar Dewantara. Ajaran Ki Hadjar yang populer dengan 'ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani' yang bermakna 'di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan' ini disempurnakan dengan tujuan pendidikan versinya, yaitu mempersiapkan manusia merdeka yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Sementara itu, Paulo Freire memandang pendidikan adalah alat untuk membebaskan pelakunya dari penindasan. Pendidikan dijadikan 'modal' agar peserta didiknya dapat meraih kehidupan dan perlakuan setara dari sekelilingnya.

Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari PJJ? Di tengah segala keterbatasan, kita 'terpaksa' kembali ke fitrah pendidikan. Apa saja fitrah pendidikan itu? Seperti yang sudah dilakukan oleh UT dan PKBM, pendidikan seharusnya memungkinkan pemelajarnya untuk bertahan hidup. Berkat keleluasaan yang diberikan, lulusan UT dan PKBM bisa mendapatkan ijasah dan berkesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup mereka.

Selain itu, pendidikan juga selayaknya membuat pemelajarnya berdampak bagi sekelilingnya. Sekolah-sekolah membuka pintunya agar peserta didiknya turun ke jalan, belajar dari sekitarnya dan menawarkan pemikiran maupun keahliannya untuk berkontribusi.

Pendidikan juga harus bisa menjadi pegangan pemelajarnya untuk mengubah sekitarnya. Kampanye lingkungan hidup yang dilakukan remaja belasan tahun asal Swedia, Greta Thunberg adalah salah satu contoh menarik dimana dia 'mogok sekolah' untuk berkeliling dunia dan membangkitkan kesadaran masyarakat dunia terhadap perubahan iklim.

Yang terakhir, pendidikan seyogyanya mempersiapkan pemelajarnya untuk mati. Jika yang dibutuhkan untuk 'mati enak' adalah amalan baik, maka pendidikan harus menjadi kendaraan bagi pemelajar mengumpulkan amalan baiknya. Sudah saatnya kita semua mengembalikan pendidikan ke fitrahnya. Sudah saatnya pendidikan memanusiakan.

Bintaro, 26 Juli 2020

*) Penulis merupakan mantan Kepala Sekolah Erudio Indonesia dan saat ini menjabat sebagai Teacher Upskilling Lead di platform belajar daring Zenius Education.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement