Kamis 23 Jul 2020 17:14 WIB

Ta 'aruf dengan Klepon, tak Kenal Maka tak Islami

Kue klepon terekam dari cerita rakyat martapura.

Klepon Blueberry
Foto:

Cerita rakyat Martaputra: Asal Usul Kue Kalapun (Klepon)

Dahulu kala, hidup “Seorang Janda” bersama putrinya bernama Galuh di suatu daerah di “Martapura”. Sang janda mempunyai kebiasaan yaitu senang membuat kue, kebiasaan ini di jalaninya sejak sang suami masih hidup hingga suaminya meninggal dunia. Sang janda juga membuat kue tersebut juga untuk dijual demi membantu ekonomi keluarga mereka.

Kue buatannya pun sangat lezat dan digemari banyak orang. Karena itu sang janda banyak mempunyai pelanggan.

Orang pada zaman dulu hanya bisa membuat kue sederhana yang disebut “wadai”, misalnya kue buatan sang janda hanya dibuat dengan memasukkan beras ke dalam lesung. Semua bahan dihaluskan hingga jadi satu dan agak mengeras di dalam lesung. Karena hawa di lasung yang panas, kue tersebut seperti dimasak.

Karena kondisinya yang sudah mulai tua membuat fisik sang janda tak sekuat dulu, ia pun mulai sering didera sakit–sakitan. Pada suatu malam sang janda sakit dan ingin sekali memakan kue (wadai) yang masak langsung dari lesung. Galuh, sang anak, di lubuk hati terdalamnya sangat sedih melihat keadaan ibunya yang terbujur sakit dan tak berdaya.   

Walaupun hari telah malam, melihat keinginan kuat dari ibunya yang sedang sakit untuk makan kue (wadai). Galuh pun segera pergi ke dapur untuk membuat kue (wadai). Ternyata lesung yang baru saja dicuci dengan air dan ditengkurapkan guna mengeringkan air tersebut terdapat seekor kalajengking.

Galuh pun terkejut dan takut. Ibunya yang sedang terbaring istirahat ditempat tidur pun ikut terkejut mendengar teriakan Galuh.            

Sang janda itu pun kemudian menanyakan apa yang terjadi, namun Galuh berusaha menyembunyikan apa yang sudah ia temukan di lesung, karena tak ingin ibunya terbarbangun dan menuju ke dapur. Galuh pun terpaksa berbohong dengan mengatakan tak ada apa–apa.   

Sang janda menyadari ada yang ganjil karena Galuh sudah sangat lama berada di dapur namun tak juga ada bunyi lesung terdengar ditumbuk. Sang janda memanggil, “Luh, lambatnya, kenapa?” (“Luh, kenapa (kamu) lama?”) … “Hadang, pun” (tunggu, iya), sahut Galuh.

Sang ibu sedikit jengkel dengan jawaban anaknya, sang ibu memanggil kembali “Luh, balum haja kah?” (“Luh, belum juga kah?”).

Galuh yang tengah berkonsentrasi hingga berhasil mengusir kalajengking tersebut dari lesung, Galuh pun tidak fokus mendengar pertanyaan ibunya sehingga ia menyahut “Kalapun” saking gugupnya (keterangan: maksudnya Galuh ingin memberitahu secara tersirat bahwa ada “kala”-jengking, tetapi Galuh terburu-buru menyahut pertanyaan ibunya dengan kata “pun” yang berarti iya).

Akhirnya Galuh pun bergegas membuat kue tersebut sebisanya. Adonan beras dari itu kemudian ia bentuk bulat dengan memasukan cairan gula merah di dalamnya.

Setelah adonan bulat berisi gula merah cair itu selesai, Galuh memberinya topping parutan kelapa dan segera menghidangkannya kepada ibunya. Akan tetapi tak berselang lama tetangga mereka datang ke rumah mereka. Dengan sigap Galuh dan ibunya mempersilakan masuk dan memberikan hidangan kue buatan galuh barusan.

Tetangganya langsung suka dengan kue buatan Galuh itu dan bertanya apa nama kue itu. Melihat Galuh terdiam sejenak, sang ibu segera menjawab “KALAPUN”, karena kata itu tadi terucap dari Galuh.

Singkat cerita kue itu dikenal dengan nama “kalapun” dan rasa enaknya menyebar dari mulut ke mulut. Galuh pun menjual kue yang akhirnya laris itu kepada para tetangganya untuk menopang ekonomi keluarga.

Kue tersebut langsung terkenal dan membuat galuh bisa membiayai kebutuhan keluarganya saat ibunya semakin uzur. Kini kue kalapun telah menjadi salah satu jajanan rakyat paling terkenal di Kalimantan Selatan.

Kisah di atas dikuatkan pula oleh inventarisasi makanan tradisional di Kalimantan Selatan dalam buku Makanan: Wujud, Variasi dan Fungsinya serta Cara Penyajiannya di Daerah Kalimantan Selatan. Dalam buku tersebut dijelaskan kue kalapun (dalam buku tersebut disebut ‘kalalapun’) adalah jenis makanan papuluran atau makanan kecil yang disajikan dalam piring. Makanan ini dikenal di seluruh lapisan sosial masyarakat suku Banjar di seluruh Kalimantan Selatan, tetapi yang paling terkenal makanan ini berasal dari daerah Martapura.

Jacinthe Bessière dari University of Toulouse le Mirail, Kota Toulouse, Perancis, dalam artikelnya yang berjudul Local Development and Heritage: Traditional Food and Cuisine as Tourist Attractions in Rural Areas (1998) menjelaskan makanan tradisional tidaklah sekedar makanan biasa. Makanan tradisional dapat berfungsi sebagai “simbol” baik simbol sosial dan juga sebagai simbol hubungan erat antar kemanusian.

Tepat seperti yang dikatakan Jacinthe Bessière bahwa makanan yang dalam hal ini adalah klepon, tidak hanya sekedar makanan tradisional saja melainkan ia telah menjelma menjadi salah satu simbol makanan tradisional masyarakat Kalimantan Selatan (bahkan juga di Jawa). Tidak hanya itu jika kita runut dari tradisi lisan cerita rakyat di atas, telah jelas bahwa klepon telah menjadi “simbol” cinta kasih dan bakti sang Galuh sebagai seorang anak terhadap ibundanya di usia senja sebagai “produk karya” untuk menopang hidup dan ekonomi keluarga.

Tentunya hal tersebut sesuai dengan semangat ajaran Islam untuk menghormati dan memuliakan seorang ibu. Seperti yang diriwayatkan dalam sebuah hadist Nabi Muhammad Saw, sebagai berikut: Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR Bukhari).

Dengan demikian maka kita patut bertanya kepada Abu Ikhwan Aziz sisi mana dari si mungil klepon yang tidak Islami? Jika tidak bisa dibuktikan secara empiris maka bukankah “fitnah lebih kejam dari pembunuhan?” sehingga jika ia yang melemparkan fitnah secara agama Islam ia akan terhalang untuk masuk surga dan tidak mendapat syafaat nabi di hari akhir?

Ah, mungkin semua ini demi traffic seperti yang dilakukan seorang Youtuber beberapa saat lalu yang melakukan prank dengan memberikan sembako berisi sampah kepada seorang transpuan. Ya beginilah akhir zaman di masa kaliyuga, ada baiknya sebelum kiamat kita menikmati klepon di warung tertua di malang yakni “Putu Lanang Celaket”, yang berdiri sejak tahun 1935 di sudut Celaket merenungi orang-orang yang mulai gila di akhir zaman.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement