Rabu 22 Jul 2020 08:08 WIB

Potensi Besar Filantropi Kesehatan Minim Dukungan Kebijakan

kesehatan merupakan salah satu program yang banyak didukung oleh pelaku filantropi

Rep: zahrotul oktaviani/ Red: Hiru Muhammad
Petugas PMI mendata kesehatan puluhan pengungsi Rohingya yang terdapat di perairan Aceh Utara, Jumat (26/6).
Foto: Dok PMI
Petugas PMI mendata kesehatan puluhan pengungsi Rohingya yang terdapat di perairan Aceh Utara, Jumat (26/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kesehatan menjadi salah satu isu yang banyak mendapatkan perhatian dan dukungan dari pelaku filantropi. Dukungan filantropi ini bisa menjadi sumberdaya alternatif untuk menopang pelayanan kesehatan dalam sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), khususnya melalui skema biaya tidak langsung (indirect cost).

Sayangnya, besarnya dukungan filantropi untuk kesehatan ini belum didukung dengan kebijakan pemerintah dan insentif yang memadai. Salah satunya dapam hal insentif perpajakan.

Beberapa temuan itu mengemuka saat dilakukan pemaparan hasil riset “Pemetaan Kegiatan Filantropi di Indonesia”. Kegiatan ini diusung oleh Forum Nasional Filantropi Kesehatan yang digelar di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Yogjakarta, selasa (21/7).

Riset ini merupakan kolaborasi Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) UGM dengan Filantropi Indonesia. Hadir dalam kegiatan, tim peneliti PKMK UGM, dr. Jodi Visnu dan Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, Hamid Abidin, Direktur Kesehatan dan Gizi Bappenas, Pungkas Bahdjuri Ali, serta Analis Kebijakan Ahli Utama Kementerian Kesehatan, dr. Untung Suseno.

Acara yang berlangsung selama dua hari ini juga diisi pemaparan mengenai filantropi kesehatan dari lembaga filantropi nasional dan internasional, pemerintah dan akademisi.

Dalam paparannya, dr. Jodi Visnu selaku peneliti menyatakan, kesehatan merupakan salah satu isu atau program yang banyak didukung oleh pelaku filantropi. Tim peneliti mengidentifikasi 117 lembaga yang teridentifikasi sebagai pelaku filantropi kesehatan.

Para pelaku filantropi Kesehatan ini terdiri dari 41 korporasi, serta lembaga non-korporasi yang terbagi menjadi 15 lembaga yayasan korporasi, lima lembaga berbasis keluarga, 16 lembaga berbasis keagamaan dan 40 lembaga independen.

Dalam memberikan dukungan bagi sektor kesehatan, pelaku filantropi kesehatan itu berperan sebagai donatur atau penyumbang (grantor), lembaga perantara (intermediary) dan pelaksana program (implementer).

Menurut Jodi, pelaku filantropi kesehatan baik individu maupun institusi, berkontribusi pada perwujudan dan peningkatan kualitas kesehatan dalam masyarakat lewat upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan suportif. Bantuan kemanusiaan yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan sistem kesehatan.

Karena itu, banyak hal di luar sektor kesehatan yang berdampak bagi kesehatan masyarakat dan masih memiliki peluang untuk dieksplorasi. Selain itu, Filantropi kesehatan juga bisa mendukung dan melengkapi sistem pembiayaan kesehatan melalui sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Seperti diketahui, Pada tahun 2014, pemerintah Indonesia telah membentuk Badan Jaminan Kesehatan Sosial (BPJS) untuk mengimplementasikan program jaminan sosial kesehatan. Skema asuransi nasional ini telah mencapai kemajuan, tetapi menghadapi defisit yang semakin besar dari waktu ke waktu.

Meskipun pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 5,2persen, proporsi total pengeluaran kesehatan atas PDB tetap stagnan di angka 3,2 hingga 3,3persen.

"Institusi yang berkecimpung dalam bidang filantropi kesehatan menyadari peran pemerintah adalah yang utama dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Pemerintah telah memiliki anggaran untuk kegiatan program promotif dan preventif di sektor kesehatan," ujar dr. Jodi, dalam keterangan yang didapat Republika, Rabu (22/7).

Dalam program kuratif, pemerintah menanggung pembiayaan kebutuhan medis untuk kebutuhan dasar kesehatan yang disebut dengan direct cost. Hal ini secara detil diatur dalam peraturan pemerintah Indonesia yang telah bekerja sama dengan BPJS sejak tahun 2014.

Namun, pemerintah tidak menanggung biaya tidak langsung dalam pelayanan kesehatan. Biaya tersebut merujuk pada kebutuhan non-medis pasien, seperti transportasi pasien rujukan lepas, biaya penunggu keluarga pasien, dan biaya rumah singgah pasien dalam antrean layanan di rumah sakit yang membutuhkan waktu beberapa hari.

Bagi pasien yang tidak mampu, biaya ini dapat memberatkan dan berpotensi dalam menghalangi pasien untuk memperoleh pelayanan kesehatan.

"Di sinilah filantropi bisa mendukung indirect cost sehingga bisa jadi penopang dan pendukung sistem JKN yang dikembangkan pemerintah” kata Jodi.

Direktur Filantropi Indonesia, Hamid Abidin menyatakan, kesehatan menjadi isu atau program yang banyak didukung oleh individu maupun lembaga filantropi. Isu kesehatan termasuk yang penting selain program pendidikan, bencana, penyantunan dan pelayanan sosial.

Hal itu juga tergambar dari besarnya jumlah sumbangan yang dialokasikan lembaga filantropi pendukung kesehatan, serta jumlah donasi yang berhasil digalang untuk program kesehatan.

Hal ini juga tergambar dari dukungan masyarakat terhadap penanganan pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia. Berdasarkan hasil kajian Filantropi Indonesia menunjukkan, sampai akhir Juni 2020 dukungan dana dari sektor filantropi untuk pandemi ini mencapai Rp 905 milyar.

"Pandemi COVID-19 akan memperkuat trend dukungan kepada sektor kesehatan sebagai orioritas utama filantropi untuk beberapa tahun mendatang” kata Hamid.

Sayangnya, dukungan filantropi yang sangat besar terhadap sektor kesehatan ini tidak diimbangi dukungan kebijakan oleh pemerintah, salah satunya lewat insentif perpajakan. Hamid mengungkap sampai saat ini belum ada kebijakan insentif pajak untuk filantropi kesehatan.

Kebijakan insentif pajak bagi sumbangan hanya berlaku bagi sumbangan keagamaan, bencana nasional, pendidikan, riset dan pengembangan, infrastruktur sosial dan olah raga. Karenanya, sampai saat ini sumbangan untuk kesehatan belum bisa dikecualikan sebagai objek pajak (tax exemption) dan belum bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak (tax deduction).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement