Selasa 21 Jul 2020 22:18 WIB

Sindrom Tiktok tak Ada, Dokter: Waspadai Gangguan Tic

Video komedi satire soal sindrom Tiktok viral beberapa waktu lalu.

Rep: Santi Sopia/ Red: Reiny Dwinanda
Ilustrasi aplikasi Tiktok. Belakangan, ada video komedi satire tentang sindrom Tiktok. Padahal, dunia medis tak mengenalinya.
Foto: Pixabay
Ilustrasi aplikasi Tiktok. Belakangan, ada video komedi satire tentang sindrom Tiktok. Padahal, dunia medis tak mengenalinya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan video komedi satire soal sindrom Tikok menjadi viral. Jika dilihat secara medis, apakah sindrom tersebut memang ada?

Dokter spesialis kedokteran jiwa RS Persada Hospital Malang dr Frilya Rachma Putri SpKJ mengatakan, secara kedokteran berbasis bukti, sindrom Tiktok memang tidak ada. Dia juga belum pernah menangani kasus terkait.

Baca Juga

"Itu video menyindir kebiasaan anak muda sekarang, untuk mengingatkan juga kan, istilahnya jangan terlalu banyak menghabiskan waktu hanya bermain itu (Tiktok)," kata Frilya dalam Instagram Live bersama @dokterapin, Sabtu (4/7).

Dampak dari media digital tentu bisa positif dan negatif. Apabila penggunaannya tidak proporsional, bisa berdampak negatif. Firlya mengatakan, orang bisa menarik diri dari sosial, melupakan tanggung jawab pelajar, dan lainnya gara-gara perhatiannya terkonsentrasi pada dunia maya.

"Kalau dulu aplikasi ini diprotes karena konten dewasanya, orang tua sekarang nggak mau repot. Padahal harusnya investasi di delapan tahun pertama kehidupan anak," ujar Firlya.

Meski tak ada kaitannya dengan Tiktok, Frilya menjelaskan, dalam dunia kedokteran dikenal adanya gangguan tic. Orang yang mengalaminya akan melakukan gerakan vokalisasi yang mendadak dan berulang-ulang. Gejala ini biasanya bervariasi dari ringan hingga berat dan memengaruhi kualitas hidup pengidap.

Frilya mengatakan, kebiasaan ini bergantung pengalaman subjektif anak. Ada beberapa yang tidak terpengaruh ataupun latah terhadap suatu gerakan.

"Ada yang susah mengendalikan gerakan hingga memegang organ lawan jenis, misalnya, itu yang agak bahaya," ujarnya.

Kunci awal bagi orang tua tentu harus menghadapinya dengan tenang dan bijak. Terima segala kelebihan dan kekurangan anak. Ortu juga perlu tegas bukan dalam artian sering memarahi, apalagi intervensi terkait hal yang boleh dan tidak dilakukan anak.

Sementara itu, dr Citra Raditha SpA mengatakan, tic biasanya murni disebabkan faktor yang tidak diketahui. Ciri-ciri dari tic ini gerakan sederhana yang tiba-tiba dan berulang. Beda dengan kejang, tic cenderung non ritmik atau intervalnya tidak menentu.

"Tic itu biasanya murni penyebabnya tidak diketahui, neurobiology-nya itu murni tic. Kalau penyebab sekunder memang terjadi gangguan dari luar, misal obat penenang, trauma kepala, infeksi, menurunnya fungsi sel otak," kata dokter spesialis anak yang praktik di RSAB Harapan Kita, Jakarta.

Tic biasanya mirip dengan gerakan yang sebenarnya hanya merupakan kebiasaan. Kalau tidak timbul gerakan itu, sensasi yang dirasakan pengidap bisa seperti gatal karena ingin sekali melakukan gerakan tubuh itu.

"Semakin menahan, merasa nggak nyaman. Kalau anak bisa nggak sadar, kecuali remaja, kita juga harus eksplorasi itu tic atau kebiasaan, lalu apakah ada penyakit lain, seperti dari alergi misalnya," ujar Citra.

Di samping itu, Citra juga mengatakan penggunaan gawai atau paparan layar yang harus proporsional terutama bagi anak dan remaja. Sebenarnya banyak penelian yang menunjukkan efek positif media digital seperti meningkatkan nilai akademil anak hingga menumbuhkan kepercayaan diri. Namun penggunaan yang berlebih atau tidak bijak juga tentunya akan berdampak negatif.

"Sangat penting pendampingan orang tua dalam perilaku digital anak dan remaja," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement