Rabu 22 Jul 2020 00:02 WIB

 Amnesty: Oknum TNI Tembak Ayah dan Anak di Nduga Papua

Penembakan terjadi ketika Selu dan Elias, bersama rombongan hendak ke pos pengungsian

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus Yulianto
Direktur Amnesty International Indonesia - Usman Hamid
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Direktur Amnesty International Indonesia - Usman Hamid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Insiden penembakan terhadap warga sipil kembali terjadi di Papua. Amnesty Internasional Indonesia mengatakan, dua orang--ayah dan anak-- meninggal di Nduga, akibat terjangan peluru senjata api. 

Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia Usman Hamid mengatakan, pelaku penembakan, adalah oknum personil Tentara Nasional Indonesia (TNI). “Kodam Cenderwasih, telah mengonfirmasi dan membenarkan adanya penembakan hingga tewas terhadap dua warga sipil di Kabupaten Nduga, Papua oleh oknum anggota TNI,” kata Usman, dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (21/7). 

Laporan yang sampai ke Amnesty, Usman menerangkan, insiden penembakan warga sipil tersebut, terjadi pada Sabtu (18/7). Dikatakan, kronologi penembakan terjadi sekira pukul tiga sore waktu setempat. 

Dua yang hilang nyawa, adalah Selu Karunggu, pemuda 20 tahun, dan Elias Karunggu, ayah 34 tahun. Kedua korban tersebut, dikatakan Amnesty adalah penduduk sipil yang berstatus sebagai pengungsi kejadian Desember 2018, yang sampai saat ini bertahan di Distrik Yigi, Nduga. 

Insiden penembakan terjadi di Kampung Masanggorak, di sempadan Sungai Keneyam, sekitar setengah kilometer dari Kota Keneyam, Ibu Kota Nduga. Penembakan terjadi ketika Selu dan Elias, bersama-sama sejumlah rombongan hendak ke pos pengungsian dengan menyeberangi sungai. Didekat sungai tersebut, berdiri pos darurat militer. 

“Oknum TNI menembak kedua korban dari pos darurat mereka di pinggir sungai, saat keduanya menyeberangi sungai,” begitu dalam laporan Amnesty.

Insiden penembakan tersebut, mendorong terjadinya kembali aksi protes lokal. Pada Ahad (19/7), sejumlah pemuda bersama otoritas pemerintahan daerah (Pemda) setempat, dikatakan Usman, melakukan aksi protes seharian. Para pemrotes, meminta aparat mengembalikan dua jenazah korban untuk dimakamkan saat itu juga. Mereka pun meminta pelaku penembakan agar diusut, dan diberi hukuman yang setimpal. 

Amnesty, kata Usman, mendukung seruan tersebut. Kata dia, aksi brutal penghilangan nyawa sipil yang dilakukan aparat Indonesia di Papua, sudah digaris merah. 

Amnesty mencatat, Januari 2010 sampai Februari 2018, ada sebanyak 69 kasus pembunuhan, yang menelan 95 korban jiwa sipil oleh aparat di Bumi Cenderawasih. Sebanyak 34 kasus di antaranya, menjadikan aparat Polri sebagai tersangka. Sedangkan 23 kasus lainnya, dilakukan oleh aparat militer. Sisanya, 11 kasus dilakukan oleh kedua otoritas keamanan tersebut, dan satu kasus melibatkan Satpol PP.

“Sebagian korban, 85 (korban jiwa) di antaranya merupakan warga etnis Papua,” ujar Usman. Namun, kata dia, dari semua kasus tersebut hanya berujung pada bentuk sanksi yang mengecewakan. 

Catatan angka korban sipil di Papua, pun memberikan gambaran tentang masih terangnya bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Bumi Cenderawasih. “Tindakan aparat keamanan menembak dua warga Papua kembali, menujukkan negara kerap bertindak represif di Papua. Itu adalah tindakan yang tidak terukur, brutal, dan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia,” sambung Usman.  

Amnesty kembali mengingatkan pemerintah, agar punya tanggung jawab menyeret para oknum kepolisian, pun tentara pelaku pembunuhan ke persidangan umum. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement