Selasa 21 Jul 2020 16:14 WIB

1.137 Anak Jatim Terpapar Covid-19

Dari 1.137 anak yang terpapar Covid-19, tiga diantaranya meninggal dunia

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Esthi Maharani
Seorang tenaga kesehatan memakai alat pelindung diri sebelum memberikan makanan kepada pasien positif COVID-19 di Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak (RSKIA)
Foto: ANTARA/RAISAN AL FARISI
Seorang tenaga kesehatan memakai alat pelindung diri sebelum memberikan makanan kepada pasien positif COVID-19 di Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak (RSKIA)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur, Andriyanto mengungkapkan, jumlah anak yang terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai 1.137 orang. Dari jumlah tersebut, tiga di antaranya meninggal dunia dan tingkat kesembuhan hanya mencapai 40,4 persen.

Andriyanto mengatakan, 1.137 anak yang terpapar Covid-19 di Jatim, setara dengan 6,6 persen dari total pasien terkonfirmasi positif Covid-19 di wilayah setempat. Jumlah itu dibagi menjadi 1,7 persen untuk anak usia 0-5 tahun, dan 4,9 persen untuk anak usia 6-17 tahun.

Selain kerentanan anak terpapar Covid-19, Andriyanto juga menyinggung angka kekerasan anak dan perempuan yang terjadi selama masa pandemi Covid-19. Berdasarkan data yang dimilii DP3AK Provinsi Jawa Timur, hingga 16 Juli 2020 tercatat ada 699 laporan kekerasan yang dialami perempuan dan anak di wilayah setempat. Dimana 40,6 persen di antaranya berupa kekerasan seksual, diikuti kekerasan fisik dan psikis.

"Lokasi terbanyak dilaporkan terjadi di rumah tangga, disusul fasilitas umum, tempat kerja, dan sekolah. Ini sungguh mengenaskan. Ini yang harus disuarakan oleh para pihak. Terutama oleh teman-teman media, agar masyarakat dapat diedukasi secara benar,” kata Andriyanto saat menjadi narasumber Webinar, Selasa (21/7).

Direktur Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Tulungagung Winny Isnaeni mengatakan, salah satu isu perlindungan anak yang saat ini marak terjadi dan seringkali masih diabaikan dampaknya ialah isu kekerasan. Termasuk di dalamnya kekerasan berbasis gender, eksploitasi, kesehatan mental anak, dan penelataran anak.

Dia menjelaskan, kasus kekerasan berbasis gender masih sering dianggap tabu oleh masyarakat karena pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat. Ini yang kemudian menyebabkan kasus yang banyak terjadi tidak terungkap dan tidak ada penanganan maupun respon terhadap korban.

"Jika tidak dicegah dan ditangani dengan baik, kasus kekerasan dapat berdampak bagi korban,” ujar Winny.

Winny mengatakan, keluarga dan masyarakat merupakan sumber daya yang besar dan dekat dengan anak. Dia pun berharap media massa yang dipercaya  informasinya oleh publik, bisa mengambil posisi strategis untuk menguatkan keluarga dan masyarakat agar lebih melindungi anak yang menjadi tanggung jawabnya.

Child Protection Specialist UNICEF Kantor Perwakilan wilayah Jawa, Naning Pudjijulianingsih mengungkapkan, di masa pandemi ini semua pencegahan kekerasan anak bisa dilakukan dari tiap rumah. Baik itu kolaborasi yang baik antara keluarga, sekolah, masyarakat, serta media.

"Meskipun dalam kondisi sulit menghadapi pandemi, semua anak harus bisa dipastikan pendidikannya serta kontrol keluarga yang baik. Termasuk dalam kesehatan mental anak yang harus dijaga. Nah, media sangat berperan dalam hal ini," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement