Selasa 21 Jul 2020 12:15 WIB

Politikus PKS Setuju Pembubaran BPIP

Semua pihak harus introspeksi diri terkait status dan kiprah BPIP ini. 

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara merupakan nilai yang harus diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. RUU PIP bisa menjadi payung hukum BPIP.
Foto: Wikipedia
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara merupakan nilai yang harus diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. RUU PIP bisa menjadi payung hukum BPIP.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelembagaan sosialisasi dan pembinaan Pancasila seperti masa Orde Baru, masih menyisakan trauma negatif di kalangan masyarakat. Tafsir tunggal dan indoktrinasi semi militeristik tentang Pancasila, dengan berbagai program litsus menjadi hantu bagi masyarakat. 

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mulyanto mengatakan, pemerintah diimbau perlu mempertimbangkan aspirasi masyarakat terkait keberadaan dan kinerja Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Maka, semuanya harus introspeksi diri terkait status dan kiprah BPIP ini. 

"Tidak boleh kita main menang-menangan, terutama terkait dengan alasan kenapa masyarakat kerap mengkrtik keras keberadaan dan kinerja BPIP ini," ujar Mulyanto dalam pesan singkatnya, Senin (20/7).

Oleh karena itu, kata dia, harus dicari akar masalahnya. Sehingga, energi bangsa ini tidak habis untuk membicarakan hal-hal yang sudah final seperti Pancasila. 

"Justru, yang utamaa dalah bagaimana mengamalkan Pancasila ini secara murni dan konsekuen sebagaimana tafsirnya dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD NRI tahun 1945," kata alumni PPSA XV Lemhanas RI. 

Mulyanto berpendapat, trauma Orde Baru yang melembagakan Pancasila melalui BP7 dan P4 ini belum hilang benar dari ingatan kolektif bangsa ini. Kala itu, dalam tataran personal, para pejabat tampak keren dalam berwacana. Namun, miskin dalam pengamalan dan keteladanan ber-Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. 

Kemudian, lanjut Mulyanto, secara sosial, nilai-nilai Pancasila semakin terlihat timpang antara teori dan praktek. Terbukti masih banyak kasus korupsi, kolusi, nepotisme dan pembatasan penyampaian aspirasi.

"Padahal yang menjadi acuan masyarakat itu adalah pengamalan, keteladan, dan bukti nyata, bukan sekedar wacana tentang Pancasila”, tegas Mulyanto. 

Di sisi lain, Mulyanto melihat, prestasi ekonomi, budaya, dan politik luar negeri saat itu juga tidak tampak menonjol. Kata dia, itulah kenapa ketika krisis moneter yang diikuti dengan krisis multidimensi terjadi, masyarakat mendesak untuk dihapuskannya kelembagaan BP7 dan P4 tersebut.

"Terkait dengan BPIP, kita juga masih ingat ketika lembaga ini dibentuk kemudian merebak isu soal honor Anggota Dewan Pengarahnya yang kelewat besar. Hingga akhirnya, Ketua BPIP, Dr. Yudhi Latif yang pemikir kenegaraan dan kebangsaan, saat itu mengundurkan diri," terang Mulyanto.

Namun naasnya, sambung Mulyanto, ketika Ketua BPIP yang baru dilantik, langsung obral statemen yang menyudutkan peran agama di Indonesia. Kemudian di tengah pandemi Covid-19 yang belum reda, BPIP malah menggelar konser musik dengan kerumunan massa tanpa masker. 

Lalu muncullah RUU HIP dan RUU BPIP yang ingin memperkuat dasar hukum kelembagaan BPIP dari sekedar Perpres menjadi UU. "Jadi menurut saya terkait kelembagaan BPIP ini memang masih traumatik," imbuh Mulyanto. 

Namun demikian, kata Mulyanto, bukan berarti tanpa BPIP tidak dapat mensosialisasikan dan melakukan pembinaan kepada penyelenggara negara dan masyarakat tentang Pancasila. Secara kelembagaan memiliki Lembaga Kajian MPR dengan program Sosialisasi 4-Pilar MPR RI, Lemhannas RI dengan program PPSA dan PPRA serta Pemantaban nilai-nilai Kebangsaan juga memiliki Dewan Ketahanan Nasional. 

"Untuk itu setuju Pemerintah menimbang ulang keberadaan BPIP. Apalagi Presiden berencana untuk membubarkan 18 lembaga pemerintah yang tidak berkinerja optimal," ucap Mulyanto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement