Selasa 21 Jul 2020 08:34 WIB

Menghapus Wajah Ganda Pilkada   

Di balik bayang-bayang sisi gelap pekat pilkada langsung, juga tebersit harapan.

Asep Sahid Gatara, Ketua Jurusan Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Foto: dokpri
Asep Sahid Gatara, Ketua Jurusan Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asep Sahid Gatara (Ketua Jurusan Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

Penetapan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wali kota terus menuai polemik. Pasalnya, selain ia benar-benar telah menggeser Achmad Purnomo yang semula diusung sebagai bakal calon oleh DPC PDI-P Solo, juga disinyalir adanya peran sang ayah, Presiden Joko Widodo, yang begitu besar dalam memuluskan keluarnya rekomendasi dari ketua umum PDI Perjuangan.  

Polemik majunya Gibran sebagai bakal calon seolah membuka tabir pekat yang selama ini menyelimuti pilkada langsung. Terutama tabir adanya penampakan wajah ganda pilkada. Di satu pihak pilkada membawa harapan terwujudnya kedaulatan rakyat, memperluas kebebasan rakyat dalam segala ekspresi politiknya, dan memperjelas arah pembangunan kemakmuran rakyat di daerah. Namun di pihak lain, terdapat antagonisme berupa semakin kuatnya genggaman pusat melalui partai politik dalam kandidasi pilkada atau seleksi kandidat kepala daerah. 

Akibatnya, sampai saat ini misalnya, dari 270 daerah yang akan menggelar pilkada serentak (sembilan di antaranya merupakan provinsi, sisanya, 37 kota dan 224 kapupaten), tercatat masih ada partai politik yang belum memiliki kepastian siapa bakal calon yang akan diusung ataupun didukung. Akibatnya, sejumlah bakal calon terpaksa harus ‘sabar’ menunggu ketuk palu dari pusat melalui sang ketua umum partai politik. Diketahui, pendaftaran bakal calon itu sendiri akan dibuka secara resmi oleh KPU pada tanggal 4-6 September 2020. 

Padahal pilkada langsung sebagai salah satu capaian gerakan Reformasi 1998, dalam mendobrak sentralisme kekuasaan, digadang-gadang sebagai sistem politik baru yang bisa menggantikan sistem politik lama yang serba tertutup dan kontrol kuat oleh pusat. 

Hal itu seiring dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi, di mana sejumlah kekuasaan daerah yang sebelumnya digenggam kuat oleh pusat diserahkan kembali kepada pemerintah daerah. Kecuali urusan agama, moneter, dan militer yang masih dikelola pusat. 

Oleh karena itu, pilkada juga banyak diharapkan bisa menjadi jembatan emas untuk mewujudkan semangat reformasi politik di daerah. Termasuk dalam mewujudkan pembangunan demokrasi lokal. Suatu sistem politik di daerah untuk mengatasi segala kebutuhan rakyat terhadap pemimpin daerah dalam mengelola sumber daya daerah secara efektif dan berkeadilan. 

Sayang, harapan publik tersebut dibayangi oleh sisi gelap perjalanan pilkada dari sejak pertama kali dihelat tahun 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, hingga menjelang pilkada serentak tahun 2020 ini. Termasuk dalam hal perjalanan kandidasi pilkada yang masih sentralistik.   

Soal regulasi

Dalam konteks persoalan kandidasi pilkada, sentralistik atau genggaman pusat terhadap daerah sangat terbuka lebar karena memang terfasilitasi oleh klausul dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Klausul tersebut menegaskan bahwa semua pasangan calon kepala daerah (pasangan gubernur dan wakil gubernur, pasangan bupati dan wakil bupati, pasangan walikota dan wakil walikota) yang diajukan oleh partai politik tingkat daerah harus mendapatkan persetujuan pengurus partai politik tingkat pusat melalui Surat Keputusan (Pasal 42 ayat 4 dan ayat 5). 

Bahkan dalam hal persetujuan pengurus partai politik tingkat pusat tidak diindahkan oleh partai politik tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota) maka pencalonan dan pendaftaran pasangan calon kepala daerah dapat dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik tingkat pusat (Pasal 42 ayat 4a dan 5a). 

Sekali lagi, ini menunjukkan begitu kuatnya politik sentralistik, terutama pada struktur partai politik. Oleh karena itu, pilkada sebenarnya dapat dikatakan bukan hajatan politik lokal, melainkan menjadi arena ‘bancakan’ kontestasi politik nasional. 

Desentralisasi kekuasaan

Di balik bayang-bayang sisi gelap pekat pilkada langsung, sebenarnya juga tebersit harapan adanya sentuhan cahaya perubahan ke arah yang lebih baik. Namun demikian, tentu banyak sekali yang harus diperhatikan dalam memberikan sentuhan perubahan pada pilkada langsung. Di antaranya, perubahan atau perbaikan tidak hanya di ranah penyelenggaraan, namun juga di ranah regulasi sebagai hulu kepilkadaan. 

Sejauh ini, sebagaimana disampaikan di atas, regulasi pilkada lebih berorientasi pada kekuasaan di pusat padahal yang berkepentingan adalah rakyat di daerah. Oleh karena itu, untuk sentuhan perubahannya diperlukan regulasi pilkada yang membatasi peran dominan pusat dengan penerapan desentralisasi kekuasaan. Misalnya dalam hal seleksi bakal kandidat, partai politik tingkat pusat seharusnya hanya “mengetahui” saja bukan “eksekusi” atau “rekomendasi”. Hak mengetahui tersebut diperuntukan semata sebagai ikatan hirarki keorganisasian dalam bingkai sistem politik nasional. 

Dalam konteks itu, partai politik tingkat daerah diharapkan akan memiliki otonomi sebagaimana diprasyaratkan bagi keajegan otonomi daerah. Dan pada gilirannya, partai politik di daerah akan benar-benar menjadi pilar utama bagi demokrasi lokal. Tentu dengan syarat terciptanya terlebih dahulu demokrasi internal partai atau intra-party democracy (IPD). Sesuatu yang ironis bila partai politik menjadi pilar demokrasi, sementara di dalam internal partai itu sendiri tidak ada kehidupan demokrasi. 

Kandidasi demokratis melalui IPD menekankan prinsip-prinsip keterbukaan, desentralisasi dan partisipatif di setiap tahapannya, termasuk dalam tahapan penetapan bakal calon. Ia tidak mentolerir munculnya ruang-ruang gelap yang dapat memfasilitasi segala praktik-praktik anti kandidasi demokratis, seperti praktik mahar atau transaksional finansial.  

Upaya menguatkan desentaralisasi kekuasaan dengan seperangkat regulasinya yang berorientasi lokal dan penguatan demokrasi internal partai di daerah akan memperkecil ruang polemik seperti sekarang ini. Di samping itu, sekaligus akan memberikan warna yang elok pada wajah pilkada. Khususnya dalam wujud wajah kemandirian, kedewasaan, keberdayaan, dan kesungguhan pelaksanaan demokrasi di level lokal. Bukan sebaliknya, pemaksaan pilkada sebagai demokrasi lokal yang akal-akalan. Wallahualam bissawab.    

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement